Tiba-tiba saja aku seperti pahlawan “kesiangan” yang berani memposisikan diri sebagai David yang berani bertarung melawan Goliath, para raksasa koruptor yang telah menggurita.
Korupsi adalah kebiasaan buruk
yang sudah membudaya, dan untuk memberantasnya tentu saja bukan perjuangan yang
mudah, sangat berat dan hampir mustahil. Dalam sekejap saja pasti akan terlihat
hasilnya yaitu : sia-sia.
Dalam kesia-siaan itu, apakah aku
akan menjadi David selamanya ?.
“Sudah lah tidak usah munafik,
kawan !.” Begitu ejek temanku. “ Belum saja kesempatan korupsi itu datang
kepadamu, kalau sudah, pasti akan sama saja, kamu dengan mereka.”
Tanpa memberikan kesempatan
padaku untuk membela diri, temanku terus saja nyerocos, “Lihat
Menteri Kehutanan itu !, bukan kah dia mentor kita waktu di HMI (baca
: Himpunan Mahasiswa Islam) dulu ?.” Aku diam tak menjawab.
Sebuah pertanyaan yang tak perlu ku jawab karena aku dan temanku pun sama-sama
tahu kalau Menteri Kehutanan itu adalah mentor kita waktu pendidikan dasar
anggota HMI Jakarta.
“Begitu tawadhu nya,
dia dulu … .” Temanku melanjutkan ceritanya. “Puasa senin kamisnya
rajin, tahajud nya juga gak ketinggalan, badannya saja
sampai kurus kering begitu … pemuda idealis yang sangat vokal dan berani,
sehingga oleh “intel” sering dijadikan TO(baca: Target
Operasi) ”
“Tapi apa yang terjadi kemudian
?, Kebutuhan hidup seseorang akan semakin meningkat seiring dengan berjalannya
waktu, apalagi setelah dia berrumah tangga dan mempunyai anak, apakah cukup
hanya mengandalkan idealisme saja ?.” Tanya temanku lagi.
“Pekerjaan menjadi dosen di
sebuah universitas biasa-biasa saja, tidak bisa dijadikan
tumpuan karir untuk masa depannya, dengan pengalaman organisasi nya sangat
mudah bagi dia untuk bisa berkiprah di partai, dari partai lah lalu kemudian
dia terpilih menjadi seorang wakil rakyat dan dalam periode berikutnya karena
partai nya berkoalisi dan sangat dekat dengan kubu presiden, maka dia pun
terpilih menjadi seorang menteri.”
“Lantas, apa yang salah ?.”
Tanyaku.
“Perutnya saja sekarang
sudah membuncit, itu tanda nya dia sudah makmur, kawan !”
“Tidak ada korelasi nya antara
perut buncit dengan kemakmuran seseorang apalagi dengan
korupsi.” Protesku pada temanku.
“Manusia adalah makhluk hidup yang
paling pandai ber-adaptasi, termasuk dia, aku dan kamu juga !, makanya kita
bisa survive sampai saat ini.” Jelasnya lebih lanjut. “Siapa
yang tidak pandai ber-adaptasi, maka dia tidak akan bertahan hidup dan akan
tergilas jaman, kawan !.”
“Kalau itu aku juga setuju.”
Jawabku singkat.
“Maka nya jadi orang gak usah
terlalu idealis lah, flexible dan kompromistis, dan jangan lupa, masalah apapun
bisa : “cincai lah !”, di sini apa sih yang gak bisa dibeli
dengan uang ?.”
“Itu nama nya oportunis !.”
Protesku lagi.
“Ini realita, kawan
!.” Jawabnya menangkis protesku.
“Realita ?, lantas sudah kau
taruh dimana hati nuranimu, teman ?.” Jawabku kalem.
“Ah, Terserah kau saja lah !,
yang penting keluargaku aman dan gak kelaparan,
hehehe ….siapa sih yang gak mau jadi pejabat ?, semua orang pasti mau,
termasuk aku juga !,hehehe …” Sambil tertawa nyengir temanku
pun pergi.
Enam bulan kemudian setelah
temanku pergi.
Dibeberapa harian surat kabar
memuat berita tentang skandal si Menteri Kehutanan mulai dari ditemukan adanya
aliran dana ke yayasan yang di pimpin oleh Menteri Kehutanan itu pada kasus
alih fungsi hutan lindung, penerimaan traveller’s cheque terkait dengan
Pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia.
Sebagai manusia yang pandai
ber-adaptasi, Menteri Kehutanan itu pun bersikeras kalau uang suap yang
diterimanya dianggap sebagai rejeki dari seorang kawan dan tuduhan korupsi pada
dirinya sama dengan tuduhan PKI terhadap seseorang pada masa Orde Baru. Dia
selalu bersikeras menentang kalau dirinya disangka koruptor tapi bau aroma
korupsi dan uang suap, begitu kental. tercium.
Aku jadi teringat ketika dalam
kampanyenya di daerah-daerah, dia selalu vokal menyerukan pemberantasan
korupsi. Ternyata, setelah jadi pejabat kini di pengadilan Tipikor, dia disebut-sebut
sebagai seseorang yang tersangkut skandal suap dan korupsi.
Sebuah ironisme yang biasa
terjadi di negara ini. Ya, mungkin saja kata temanku benar. Aku menjadi David
sebenarnya adalah karena aku belum memiliki kesempatan untuk menjadi Goliath.
Jam di tanganku menunjukkan pukul
07:30, secepatnya tulisan ini aku posting di Kompasiana. Sebentar lagi
murid-murid spesialku datang. Selain sebagai guru di sebuah
sekolah swasta, aku dan beberapa teman yang memiliki kepedulian yang sama,
mendirikan sebuah kelas darurat untuk mendidik anak-anak
para pemulung dan anak-anak terlantar di sekitar Tempat Pembuangan sampah Akhir
(TPA) Bantar Gebang.
Bau busuk yang menyengat dari
tumpukan sampah yang menggunung buat hidungku sudah menjadi hal biasa.
Jangankan berharap untuk mendapatkan uang lebih dari kegiatan mengajar kami,
sering kami pun terpaksa merogoh dari kocek kami sendiri
untuk membiayai kegiatan ini.
Dikeheningan malam, kadang aku
merenung. Apa yang sebenarnya kucari dari kegiatan ini ?. Istriku yang tertidur
lelap di sampingku. Dan anak bayiku yang baru berumur tiga bulan dengan senyum,
ia tidur di samping ibunya. Apakah kelak aku sanggup membahagiakan mereka ?.
Cepat-cepat kutepis keraguan itu.
Sebenarnya aku bangga dengan
diriku sendiri, bangga menjadi David yang telah berani melawan Goliath yang
gagah perkasa dan sangat berkuasa itu. Walaupun hanya dengan menjadi guru bagi
anak-anak para pemulung dan anak-anak terlantar.
Gunung
Jaha, Bogor, 26 Agustus 2010
Wans Sabang
seperti satu meriam kau meledak, seribu bedil adakah
berarti?,