Selasa, 18 Juni 2013

DAVID v.s. GOLIATH



Tiba-tiba saja aku seperti pahlawan “kesiangan” yang berani memposisikan diri sebagai David yang berani bertarung melawan Goliath, para raksasa koruptor yang telah menggurita.


Korupsi adalah kebiasaan buruk yang sudah membudaya, dan untuk memberantasnya tentu saja bukan perjuangan yang mudah, sangat berat dan hampir mustahil. Dalam sekejap saja pasti akan terlihat hasilnya yaitu : sia-sia.


Dalam kesia-siaan itu, apakah aku akan menjadi David selamanya ?.


“Sudah lah tidak usah munafik, kawan !.” Begitu ejek temanku. “ Belum saja kesempatan korupsi itu datang kepadamu, kalau sudah, pasti akan sama saja, kamu dengan mereka.”


Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk membela diri, temanku terus saja nyerocos, “Lihat Menteri Kehutanan itu !, bukan kah dia mentor kita waktu di HMI (baca : Himpunan Mahasiswa Islam) dulu ?.” Aku diam tak menjawab. Sebuah pertanyaan yang tak perlu ku jawab karena aku dan temanku pun sama-sama tahu kalau Menteri Kehutanan itu adalah mentor kita waktu pendidikan dasar anggota HMI Jakarta.


“Begitu tawadhu nya, dia dulu … .” Temanku melanjutkan ceritanya. “Puasa senin kamisnya rajin, tahajud nya juga gak ketinggalan, badannya saja sampai kurus kering begitu … pemuda idealis yang sangat vokal dan berani, sehingga oleh “intel” sering dijadikan TO(baca: Target Operasi) ”


“Tapi apa yang terjadi kemudian ?, Kebutuhan hidup seseorang akan semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu, apalagi setelah dia berrumah tangga dan mempunyai anak, apakah cukup hanya mengandalkan idealisme saja ?.” Tanya temanku lagi.


“Pekerjaan menjadi dosen di sebuah universitas biasa-biasa saja, tidak bisa dijadikan tumpuan karir untuk masa depannya, dengan pengalaman organisasi nya sangat mudah bagi dia untuk bisa berkiprah di partai, dari partai lah lalu kemudian dia terpilih menjadi seorang wakil rakyat dan dalam periode berikutnya karena partai nya berkoalisi dan sangat dekat dengan kubu presiden, maka dia pun terpilih menjadi seorang menteri.”


“Lantas, apa yang salah ?.” Tanyaku.


“Perutnya saja sekarang sudah membuncit, itu tanda nya dia sudah makmur, kawan !”


“Tidak ada korelasi nya antara perut buncit dengan kemakmuran seseorang apalagi dengan korupsi.” Protesku pada temanku.


“Manusia adalah makhluk hidup yang paling pandai ber-adaptasi, termasuk dia, aku dan kamu juga !, makanya kita bisa survive sampai saat ini.” Jelasnya lebih lanjut. “Siapa yang tidak pandai ber-adaptasi, maka dia tidak akan bertahan hidup dan akan tergilas jaman, kawan !.”


“Kalau itu aku juga setuju.” Jawabku singkat.


“Maka nya jadi orang gak usah terlalu idealis lah, flexible dan kompromistis, dan jangan lupa, masalah apapun bisa : “cincai lah !”, di sini apa sih yang gak bisa dibeli dengan uang ?.”


“Itu nama nya oportunis !.” Protesku lagi.


“Ini realita, kawan !.” Jawabnya menangkis protesku.


“Realita ?, lantas sudah kau taruh dimana hati nuranimu, teman ?.” Jawabku kalem.


“Ah, Terserah kau saja lah !, yang penting keluargaku aman dan gak kelaparan, hehehe ….siapa sih yang gak mau jadi pejabat ?, semua orang pasti mau, termasuk aku juga !,hehehe …” Sambil tertawa nyengir temanku pun pergi.


Enam bulan kemudian setelah temanku pergi.


Dibeberapa harian surat kabar memuat berita tentang skandal si Menteri Kehutanan mulai dari ditemukan adanya aliran dana ke yayasan yang di pimpin oleh Menteri Kehutanan itu pada kasus alih fungsi hutan lindung, penerimaan traveller’s cheque terkait dengan Pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia.


Sebagai manusia yang pandai ber-adaptasi, Menteri Kehutanan itu pun bersikeras kalau uang suap yang diterimanya dianggap sebagai rejeki dari seorang kawan dan tuduhan korupsi pada dirinya sama dengan tuduhan PKI terhadap seseorang pada masa Orde Baru. Dia selalu bersikeras menentang kalau dirinya disangka koruptor tapi bau aroma korupsi dan uang suap, begitu kental. tercium.


Aku jadi teringat ketika dalam kampanyenya di daerah-daerah, dia selalu vokal menyerukan pemberantasan korupsi. Ternyata, setelah jadi pejabat kini di pengadilan Tipikor, dia disebut-sebut sebagai seseorang yang tersangkut skandal suap dan korupsi.


Sebuah ironisme yang biasa terjadi di negara ini. Ya, mungkin saja kata temanku benar. Aku menjadi David sebenarnya adalah karena aku belum memiliki kesempatan untuk menjadi Goliath.


Jam di tanganku menunjukkan pukul 07:30, secepatnya tulisan ini aku posting di Kompasiana. Sebentar lagi murid-murid spesialku datang. Selain sebagai guru di sebuah sekolah swasta, aku dan beberapa teman yang memiliki kepedulian yang sama, mendirikan sebuah kelas darurat untuk mendidik anak-anak para pemulung dan anak-anak terlantar di sekitar Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) Bantar Gebang.


Bau busuk yang menyengat dari tumpukan sampah yang menggunung buat hidungku sudah menjadi hal biasa. Jangankan berharap untuk mendapatkan uang lebih dari kegiatan mengajar kami, sering kami pun terpaksa merogoh dari kocek kami sendiri untuk membiayai kegiatan ini.


Dikeheningan malam, kadang aku merenung. Apa yang sebenarnya kucari dari kegiatan ini ?. Istriku yang tertidur lelap di sampingku. Dan anak bayiku yang baru berumur tiga bulan dengan senyum, ia tidur di samping ibunya. Apakah kelak aku sanggup membahagiakan mereka ?. Cepat-cepat kutepis keraguan itu. 


Sebenarnya aku bangga dengan diriku sendiri, bangga menjadi David yang telah berani melawan Goliath yang gagah perkasa dan sangat berkuasa itu. Walaupun hanya dengan menjadi guru bagi anak-anak para pemulung dan anak-anak terlantar.

Gunung Jaha, Bogor, 26 Agustus 2010

Wans Sabang


seperti satu meriam kau meledak, seribu bedil adakah berarti?,

kalau laras-laras sudah berbalik, apalagi kau tunggu saudara?,

Ayo, nyalakan api hatimu!, seribu letupan pecah suara,

sambut dengan satu kata : MERDEKA !

(Nyanyian Tanah Merdeka, Leo Kristi)





Bungkam !



Ada-ada saja cara orang mencari uang di Jakarta.

Padatnya penumpang bis kota, tidak ia perdulikan. Hawa panas yang berasal dari aspal jalanan yang mendidih ditambah dengan bau keringat penumpang yang berjejalan plus ventilasi udara di bus itu yang tidak 
memadai. Lengkap sudah penderitaanku.

Duh, nasib-nasib. Beginilah nasib orang miskin naik bis umum serasa di dalam oven.

Sebagai seorang cleaning service di sebuah gedung di jalan Sudirman. Apa yang bisa kuharapkan dari gaji?. Kalau tidak ada tips dari karyawan yang baik hati, hari itu hidup rasanya apes banget. Layaknya seorang ahli keuangan, setiap hari terus menghitung uang masuk dan keluar untuk biaya hidup sehari-hari. Syukur kalau pas-pas an. Kalau tekor?, terpaksa gali lobang tutup lobang.

Kas bon di kantor, beruntung kalau dikasih. Pinjam kiri kanan, sama teman atau tetangga, dengan mengiba-iba persis pengemis, belum tentu juga dapat. Mau ke pegadaian, apa yang bisa digadaikan?. Emas ‘gak punya apalagi surat tanah. Sekarang saja masih ‘ngontrak di rumah petakan bersama istri dan anak laki-laki yang baru berusia 1 tahun. Kalau sudah buntu, barang apa saja di rumah yang masih ada harganya, ku jual ke tukangloak.

Suara pengamen itu lama-lama memekakkan telingaku juga. Sepotong lirik lagu Koes Plus yang ia nyanyikan, terdengar jadi kacau. Cuma ; aa uu .. aa uu… aa … uu … terus berulang-ulang, persis paduan suara burung hantu di tengah malam. Lirik lagu yang harusnya enak di dengar, jadi serasa mencekam.

*Buat apa susah, buat apa susah, lebih baik kita bergembira …
Buat apa susah, buat apa susah, lebih baik kita bergembira …


Selalu saja setiap ia ‘ngamen, lagu itu terus yang ia nyanyikan. Apa gak ada stock lagu lain yang ia hapal?. Benar-benar gak kreatif tuh orang!.

Sudah bisu, kok ngamen?. Baru saja aku mengeluh, susah nya jadi orang miskin di ibu kota, eh sudah ada orang yang lebih susah dari aku. Huh, benar-benar aneh hidup di Jakarta ini?.

Sudah beberapa hari ini, setiap aku berangkat atau pulang kerja, melihat pengamen bisu itu ‘mengamen. Perawakannya sedang, sepintas terlihat fisiknya sehat dan tidak kurang sesuatu apapun, kecuali ia bisu.

Sudah lama aku gak mampir ke warungnya Dudung. Sebuah warung rokok yang ‘nyempil di emperan gedung. Penampilan warung itu memang tidak boleh mencolok, kalau warung itu mau selamat dari gusuran Satpol PP. Seperti biasa, aku mampir untuk sekedar curhat masalah kerjaan dengan Dudung. Sambil minum teh botol dan menghisap rokok sebatang dua batang.

“Mas, teh botol sama ‘samsu sebatang !.” Suara dari arah lain.

Aku yang lagi asyik ‘ngobrol tiba-tiba saja kaget. Suara yang baru saja ku dengar ternyata berasal dari pengamen bisu itu.

Hah!, apa aku gak salah dengar?, ternyata orang itu bisa bicara. Penampilannya berbeda kali ini, rapi seperti orang kantoran saja. Kemeja lengan panjang warna putih dengan celana bahan warna hitam dan sepatu kulit yang mengkilap seperti baru disemir. Penampilan yang membuatku ‘pangling, biasanya ia cuma pakai kaos oblong dan celan jins butut kalau ia sedang ‘ngamen.

Tak lama kemudian pengamen itu pergi.

“Dung, kamu kenal sama orang itu?.”

“Gak, Boss!, baru kali ini ia mampir ke warungku.”

Dudung memang biasa memanggilku Boss dan kepada siapapun pelanggan setianya, ia akan memanggil Boss. Sekedar Lips service katanya. Ah, basa-basi kamu, Dung!, Biasa aja, walaupun kita orang susah ‘gak perlu menjilat sampai seperti itu. Walaupun sudah aku protes, tetap saja Dudung berkelakuan seperti itu. Mental budaknya melekat kuat.

“Aneh?.”

“Apanya yang aneh, Boss?.”

“Orang itu, Dung!.”

“Memangnya kenapa dengan orang itu, Boss?.”

Tanya Dudung lagi sambil memandang ke arah si pengamen bisu itu yang telah menjauh.

“Ah, sudahlah, Dung!, gak penting buat diceritakan!.”

“Banyak orang aneh ya Dung, di Jakarta ini?.”

“Maksudnya, Boss?.” Tanya Dudung polos.

Kadang aku kesal dengan kepolosan Dudung, tipis sekali bedanya antara polos dengan tolol.

“Au Ah, gelap!.” Sahutku kesal.

Sebenarnya aku mau cerita tentang si pengamen bisu itu pada Dudung. Tapi kuurungkan saja niatku itu, percuma buang-buang energi saja. Lagi pula apa menariknya?. Menceritakan tentang si pengamen bisu itu seperti aku sedang bercermin. Cuma yang buat aku tak habis pikir, mengapa ia mengamen bisu padahal sebenarnya ia bisa bicara?.

Di pinggiran kota Jakarta.

kekasihku apa yang kau risaukan
kerjamu hanya melamun saja
tak berguna kau bersedih hati
tertawalah sayang ….

Aku paling suka menyanyikan lagu itu kalau istriku sedang melamun atau ‘ngambek. Dan biasanya cuma dia balas dengan senyum. Seperti air dari pegunungan yang melewati tenggorokanku, sebuah senyum yang menyegarkan.

“Mama ‘gak melamun, Pa… cuma Mama cemas kalau Papa ‘gak betah lagi kerja di kantor yang baru.”

“Siapa bilang Papa ‘gak betah?.”

“Alhamdulillah, jadi Papa betah?, enak kerja nya, Pa?.”

“Kita syukuri saja, Ma… walaupun hasilnya ‘gak sebesar waktu Papa kerja di pabrik, tapi lumayanlah ….”

“Iya, Pa… yang penting ada pemasukan!, sedikit-sedikit nanti Mama nabung buat buka warung sembako.”

“Wah, ide yang bagus tuh, Ma!, biar bisa bantu Papa cari duit ya Ma… itu baru istri Papa tersayang.”

“Hehehehe (malu-malu). Oh iya, Pa… Papa makan malam nya mau sekarang atau nanti?.”

“Sekarang saja deh, Ma… perut Papa sudah keroncongan nih… hehehehe.”

“Sambil Mama ‘ngulekin sambel dan manasin ikan ‘cuek nya, Papa mandi dulu ya, bersih-bersih!.”

“He eh.”

Istriku pun pergi ke dapur.

Dan aku pun berjalan ke arah teras. Sambil menghisap rokok kupandangi langit. Beruntung hari ini langit cerah, bintang-bintangpun memamerkan keindahannya. Sesekali asap putih yang keluar dari mulutku bagaikan kabut yang menutupi cahaya bintang.

Penyesalan datangnya selalu terlambat. Aku yang terlalu aktif memperjuangkan nasib teman-temanku sesama buruh malah berujung sial. Perusahaan menilaiku hanyalah sebagai seorang perusuh.

Sebagai Supervisor di sebuah pabrik memang sudah kewajibanku untuk membela nasib anak buahku, dari mulai uang makan, uang lembur dan gaji yang sudah tidak layak lagi yang mereka terima.

Awalnya, aku sering diskusi dengan kepala HRD masalah keluhan-keluhan mereka. Kelambanan dan ketidak seriusan perusahaan dalam menanggapi nya membuatku semakin geram dan kesal. Pernah suatu ketika, Kepala HRD menasehatiku agar aku tidak terlalu jauh mencampuri kebijaksanaan perusahaan.

“Sudahlah, Bung… sabar saja, nama nya juga perusahaan ada untung dan rugi, jadi setiap tuntutan tidak selalu bisa dituruti!.”

Lama-kelamaan, bahasa kepala HRD semakin keras padaku.

“Hati-hati, Bung!, ada peribahasa mengatakan ; mulutmu adalah harimaumu, kalau Bung terlalu vokal, Bung bisa diterkam oleh harimau Bung sendiri. Ingat itu, Bung!, Saya sudah peringatkan jauh-jauh hari!.”

Semakin hari perjuanganku bukan hanya membela anak buah yang ada di divisiku sendiri tapi berkembang ke divisi-divisi lain yang ada di pabrik itu. Aku semakin vokal memperjuangkan nasib mereka. Kinerja perusahaan semakin memburuk, target produksi sulit tercapai karena adanya aksi-aksi mogok yang sering kami lakukan jika tuntutan kami belum dipenuhi.

Aku dinilai orang yang paling merugikan bagi perusahaan, sehingga melalui intrik-intrik yang keji, aku dijebak. Dengan tuduhan pencurian lap top milik kantor yang ditemukan di tas kerjaku, pada saat pemeriksaan pulang, hingga akhirnya aku di PHK dengan tidak hormat.

Tuduhan pencurian itu sangat keji. Saksi-saksi yang telah dibayar oleh perusahaan membenarkan seolah-olah aku memang seorang pencuri. Dan yang lebih menyakitkan hatiku lagi adalah perlakuan dari mereka yang dulu pernah ku bela nasibnya, sekarang malah mencibir kepadaku yang kini berstatus pengangguran.

Aku tidak mau terpuruk terlalu lama. Sal dan Zai kedua anakku, sedang doyan-doyannya susu. Tabunganku yang sedikit lama-lama habis buat kami makan. Pikiranku buntu, untuk melamar pekerjaan lain aku masih trauma. Mengamen dari bis ke bis, hanya itu yang tampak ada di depan mataku, yang bisa menghasilkan uang dengan cepat. Dulu ketika aku vokal membela orang lain, malah nasibku berujung sial. Sudah kutekadkan bahwa aku tidak akan vokal lagi agar nasibku tidak sial, akhirnya aku pun mengamen dengan bisu. Aku tak ingin memberitahu kepada istriku, takut dia shock atau malu. Aku bilang padanya kalau aku diterima kerja di kantoran.

“Loh, kok Papa belum mandi sih?.”

Istriku kaget ketika menemukanku masih asyik melamun di teras.

“Hehehehe… (cuma nyengir saja aku menjawabnya).”

“Sambel cobek dan ikan ‘cuek kesukaan Papa sudah tersedia di meja makan.” Sahut istriku. “Mumpung 
nasi nya masih hangat, Pa… Ayo cepat, Papa mandi, habis mandi langsung makan!.”
Seperti anak kecil, aku pun ‘ngeluyur pergi ke kamar mandi.

Di Sebuah mushola di terminal transit Jati Bening.

Kemeja dan celana bahan yang tadi ku kenakan sudah ku lipat dan ku masukkan ke dalam tas. Sepatu kerjaku pun, aku sesak-sesakkan ke dalam tas. Dalam hitungan menit, aku sudah berganti pakaian. Kaos oblong dengan celana jins butut sedengkul dan sandal jepit.

Bis jurusan Bekasi-Tanah Abang masuk ke terminal. Secepatnya aku pun lompat ke dalam bis. Kulihat penumpang bis yang tidak terlalu ramai. Aku pun mulai bernyanyi ;

Aa uu Aa uu…
Aa uu Aa uu…


Duh, Tuhan … pengamen bisu itu lagi!. Bisik hati si cleaning service.

(WS @GJL, 190312)

* : Lirik lagu “Buat Apa Susah” dari Koes Plus


Rabu, 12 Juni 2013

Si Kancil Mencuri Ketimun, Kok Pak Taninya Gak Marah?



Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun,
Ayo lekas di tangkap !, Jangan di beri ampun …

Kata-kata di atas adalah sebuah lirik lagu anak-anak yang telah akrab di telinga kita.
Dari jaman bapak saya masih anak kecil, sampai sekarang saya sudah menjadi bapak dan punya anak kecil, lagu tersebut tetap saja masih sering diperdengarkan.
Pada lagu tersebut ada nasehat dan pengajaran kepada kita yang telah ditanamkan sejak kita masih TK. Nilai-nilai moral yang terdapat pada lirik lagu tersebut sangat sederhana dan mudah di cerna. Anak TK pun  bisa cepat memahaminya.
Si Kancil, merupakan simbol binatang yang cerdik. Cerdik bukan dalam arti pandai dan pintar tetapi cerdik dalam arti licik dan curang. Karena kelicikan dan kecurangannya, dalam lirik lagu tersebut si Kancil di ‘konotasi’ kan sebagai “anak nakal yang suka mencuri”.
Pesan moral pertama pada lagu tersebut adalah ; siapa pun yang mencuri disebut atau di kelompokkan sebagai anak nakal.
Pertanyaannya adalah : apakah pesan moral tersebut masih tetap sama dan tidak berubah dari jaman dahulu sampai sekarang ?. Atau, apakah nilai-nilai pesan moralnya telah terjadi degradasi, sehingga timbul pendapat ;
Siapa pun yang mencuri belum tentu disebut atau di kelompokkan sebagai anak nakal, bisa saja anak baik atau orang-orang yang terkesan baik dan terhormat pun ternyata suka atau hobinya mencuri.
Pesan moral kedua pada lagu tersebut adalah ; siapa pun yang mencuri, Ayo, lekas di tangkap !. Ditangkap sama artinya dengan di hukum atau secepatnya dilakukan proses hukum terhadap siapa pun yang mencuri tanpa rekayasa dan pandang bulu, menganut asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pesan moral ketiga pada lagu tersebut adalah ; pencuri yang sudah ditangkap, ya jangan diberi ampun. Jangan diberi ampun, sama artinya dengan pencuri yang telah ditangkap, harus diberikan sangsi hukum yang setimpal sehingga akan menimbulkan efek jera bagi orang lain yang berniat untuk mencuri. Tindakan ‘preventif’ atau pencegahan selalu akan lebih baik dari pada tindakan ‘kuratif’ atau “mengobati”.
Al-kisah dalam sebuah dongeng, Pak Tani yang sudah geram karena kebunnya selalu dicuri oleh si Kancil, Ia berusaha keras untuk menangkap si Kancil yang terkenal cerdik itu.
Dengan seluruh keseriusan dan kesungguhannya, serta berbagai cara akhirnya Pak Tani pun berhasil menjebak, menjerat lalu menangkap si Kancil sehingga akhirnya si Kancil tak berdaya.
Kalau saya analogikan : Indonesia sebagai sebuah kebun yang maha luas, Pemilik kebunnya adalah Rakyat Indonesia dan Pak Tani nya adalah orang-orang yang di amanat kan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga, melindungi dan merawat kebun tersebut. dari gangguan si Kancil atau anak-anak nakal yang suka mencuri.
Kebun yang bernama Indonesia bukan hanya ditanami ketimun, tomat dan cabe saja. Di dalam kebun Indonesia juga terdapat banyak kekayaan alam lainnya, baik yang hayati maupun non hayati seperti ; hutan, kelapa sawit, karet, minyak bumi, emas, batu bara, dan lain-lainnya.
Indonesia sebagai sebuah kebun yang bukan hanya menggiurkan namun juga mampu menerbitkan air liur bagi si Kancil.
Dan ironisya, bukan hanya si Kancil yang terbit air liur nya melihat sumber kekayaan alam Indonesia tapi Pak Tani yang lemah imannya dari kalangan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif , dari tingkat kelurahan sampai struktur pemerintahan tertinggi, dari Sabang sampai Merauke, yang seharusnya menjaga, melindungi dan merawat kebun Indonesia, eh … malah ikut-ikutan jadi si Kancil.
Ironis memang, orang-orang yang terkesan baik dan terhormat ternyata adalah si Kancil yang suka mencuri di kebun Indonesia, lolos begitu saja dan tidak mudah di tangkap. Kalau pun sempat ditangkap, sulit sekali untuk dijerat oleh hukum. Pak Tani yang seharusnya serius dan sungguh-sungguh menangkap si Kancil ternyata sama saja ; setali tiga uang, sama aja bo’ong, musang berbulu domba, pagar makan tanaman, si melekete !, wes ewes ewes bablas kancil’ne, preketeeeew, preeeeeeeeettt !.
Sungguh, kita telah salah memberi amanat itu. Ah, apa gunanya penyesalan?.
Pantas saja, ketika si Kancil mencuri Ketimun, Kok Pak Tani nya gak marah ?.

Bogor, 23 Agustus 2010

Wans_Sabang

Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun,
Ayo lekas di tangkap !, Jangan di beri ampun …
Nyanyian lagu anak-anak tersebut semakin lama semakin sayup terdengar
dari speaker mainan “Odong-Odong” yang ditumpangi putriku terkecil.
Bapak Tukang Odong-Odong itu pun membuyarkan lamunanku,
“Pak … Pak … sudah habis, Pak, Ongkosnya, Pak !.
Aku pun memberikan uang seribu, lalu Bapak Tukang Odong-Odong itu pun pergi.
Sambil menggendong putriku terkecil, tanpa terasa air mata menetes menghangati pipi,
“Duh, Indonesia … apa yang bisa kuwariskan untukmu nanti, Nak ?,
selain cuma kemiskinan dan kebodohan saja ….”


Ilustrasi Gambar : mizan.com

·                                  



Minggu, 09 Juni 2013

Sarimin



Ada yang harus diperbaiki dalam hubungan kerja sama ini. Pikirku keras. Tidak ada kontrak. Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bekerjasama.
Kerjasama di bidang show biz terjadi begitu saja. Sejak kecil aku dipelihara dan tumbuh besar bersama mereka. Melakukan disiplin dan aturan ketat agar aku bisa dilatih melakukan gerakan-gerakan yang mereka perintahkan.
Walaupun aku tidak mengerti maksud dari gerakan-gerakan itu tapi aku harus menurutinya. Jika tidak, jatah makan ku bisa telat diberikan. Hukuman lainnya juga tidak luput aku terima mulai dari omelan, caci maki dan pukulan di kepalaku.
Semakin beranjak dewasa, banyak pula yang menjadi beban pikiranku. Hidup bukan hanya untuk makan dan tempat tinggal saja.
Seperti manusia, sebagai makhluk hidup aku butuh menyayangi dan disayangi oleh lawan jenis. Setua ini aku belum pernah merasakan. Apakah tidak pernah terpikirkan oleh mereka? Bukankah ini kebutuhan yang hakiki juga bagi setiap makhluk hidup? Aku ingin punya pasangan hidup dan anak-anak yang kelak akan tinggal bersamaku.
Ketidak perdulian mereka semakin membuatku resah. Aku hanya disuruh untuk bekerja dan terus bekerja. Sarimin pergi ke pasar!, Sarimin pergi ke sawah!, Sarimin pergi berperang!, tidak ada waktu untuk libur, beristirahat dan bermain-main. Sarimin!, Sarimin!, Ayo Sarimin!. Selalu saja Sarimin, selalu saja aku yang disuruh-suruh. Sedikit saja aku malas melakukan apa yang mereka suruh, tidak segan-segan mereka menjatuhi hukuman. Tidak adil! Aku harus berhenti dari kerjasama ini - atau mungkin ini bukan sebuah bentuk kerjasama tapi lebih pantas disebut perbudakan. Perbudakan yang hanya ada pada setiap penjajahan. Penjajahan oleh makhluk hidup kepada makhluk hidup lainnya.
Tiap hari kerjaku menghibur, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Melakukan gerakan-gerakan yang telah dilatih sejak aku kecil. Penonton tertawa-tawa melihat gerak tingkahku. Apa yang lucu? Buatku itu tidak lucu! Anehnya setiap gerak yang ku lakukan selalu saja jadi bahan tawaan. Apakah penonton pikir, aku bermaksud melucu? Disaat suka atau tidak, senang atau sedih, lelah atau resah, aku hanya harus turuti perintah Pak Ketua.
Penonton yang terhibur melihat pertunjukanku, mereka tidak sayang untuk merogoh kocek. Uang hasil pertunjukan dikumpulkan oleh Pak Ketua. Selesai melakukan satu pertunjukan, kami sudah harus bersiap kembali melakukan perjalanan, memasuki kampung demi kampung. Hampir setiap hari dari pagi hingga sore tiba, perjalanan yang cukup melelahkan. Saat matahari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat tanda bahwa pertunjukan hari ini telah selesai dan kami harus pulang. Dalam perjalanan kembali ke rumah, di suatu tempat yang agak sepi Pak Ketua dan si penabuh gendang bersama menghitung uang. Selesai dihitung, uang hasil pertunjukan mereka bagi berdua. Sementara aku? Hanya diberi pisang dan seteguk air. Itu masih lebih baik, jika uang hasil pertunjukan pas-pasan aku hanya diberi sisa makanan mereka yang telah basi.
Bagi hasil yang tidak seimbang. Pak Ketua dan si penabuh gendang bisa menghidupi keluarganya dari hasil jerih payahku juga. Memang aku tidak membutuhkan uang! Tapi hidup bukan hanya untuk mendapatkan setandan dua tandan pisang dan tempat bernaung saja. Ada mimpi yang harus aku wujudkan. Tinggal bersama keluarga besarku di tengah hutan rindang yang penuh gelak tawa dan canda diantara kami.
Saat malam ketika derik jangkrik nyaring terdengar. Pak Ketua dan si penabuh gendang yang tinggal saling bersebelahan telah kembali ke peraduan bersama keluarganya. Sementara aku, sendiri dirayapi sepi. Menatapi bulan dan bintang-bintang yang hanya diam saja, tak bisa berbuat apa-apa melihat kesedihanku.
Apa seumur hidup aku akan sendiri seperti ini? Aku harus pergi! Pergi kemana? Ke hutan impianku? Kemana arah menuju ke hutan itu pun aku tidak tahu. Aku hanya tahu jalan perkotaan saja yang biasa aku lewati dari kampung ke kampung saat melakukan pertunjukan. Bagaimana aku bisa kabur jika rantai yang melingkar di leher terlalu kuat untuk bisa kupatahkan? Ah, mustahil aku bisa pergi! semalaman aku terus terjaga memikirkan itu. Malam demi malam yang selalu menggelisahkanku hingga tanpa terasa berat badanku pun susut, tubuhku tinggal tulang yang dilapisi kulit saja.
Suatu siang yang terik. Pak Ketua dan si penabuh gendang masuk ke dalam sebuah warung nasi. Sementara aku, di ikatkan di gerobak yang diletakkan di depan warung. Iseng, aku menarik-narik tali kekang yang mengikatku. Ternyata ikatannya tidak kuat. Tali kekang yang tersambung dengan rantai dileherku pun terlepas. Ha! Sekaranglah waktunya! Kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini, seumur hidup aku akan terus diperbudak.
Sekejap aku telah melompat ke sebuah pohon. Melompat dari ranting ke ranting, berlari menyusuri batang yang lebih besar lalu melompat ke pohon lainnya.
“Hei ! Ada monyet terlepas!” Teriak seseorang sambil menunjuk ke arahku. Teriakkan orang itu membuat suasana gaduh. Orang-orang banyak ikut menonton dan menunjuk ke arahku sambil berteriak-teriak. Pak Ketua dan si penabuh gendang bergegas keluar dari warung.
“Sarimin !, Sarimin !, Ayo turun!” Panggil Pak Ketua yang diikuti dengan bujukan si penabuh gendang.
Aku tidak mau! Aku terus berlari melompat menyeberang ke pepohonan lainnya. Terus saja berlari tak perdulikan panggilan Pak Ketua dan si penabuh gendang lagi.
Sampai di sebuah perkampungan. Suasana semakin gaduh. Orang ramai berteriak. Aku tidak tahu harus kemana? Beberapa dari mereka menimpuki dengan batu. Aku panik. Terus melompat-lompat dari genteng ke genteng rumah lainnya, sehingga beberapa genteng ada yang melorot dan jatuh ke tanah, suasana makin tak terkendali. Sebongkah batu tepat mengena di kepalaku, aku sempat terhuyung. Tangan ku kuat mencengkeram tembok agar aku tidak terjatuh. Aku harus kuat! Mencoba bangkit agar aku bisa pergi dari kegaduhan ini.
Tiba-tiba sebutir timah panas menembus dadaku. Nyeri sekali ! Aku tekan bagian dadaku agar rasa sakitnya berkurang. Darah yang merembes dari dada semakin deras, aku harus kuat!, aku harus kuat!. Sekujur badanku dibasahi darah. Penglihatanku kabur. Semakin redup lalu sedetik kemudian gelap menyelimuti pandanganku.
“Mampus kau monyet!” Teriak seorang kakek berrambut cepak ala militer.
“Mampus dia kena tembakanku!” Teriak kakek itu dari atas balkon rumahnya kepada orang ramai dibawahnya yang sedari tadi mengejar-ngejarku.
Orang ramai pun mengelu-elukan kakek cepak itu, memuji ketangkasannya dalam menembakku.
“Hebat Pak Udaya, tembakannya masih OK juga!” Puji salah seorang diantara mereka sambil mengacungkan jempolnya memandang ke arah Pak Udaya yang masih angkuh berdiri diatas balkon rumahnya. Pak Udaya membalas pujian orang itu dengan senyam-senyum penuh wibawa.
“Horeeee! Sudah tidak ada lagi perusuh di kampung kita!” Teriak salah seorang lainnya.
Setelah hembusan napas terakhirku, aku dijemput makhluk bersayap yang berkilau cahaya.
“Hei, mau dibawa kemana aku?” Tanyaku keheranan.
“Menjemputmu pulang ke hadirat-Nya.” Jawab makhluk itu penuh kelembutan.
“Tidak!, tidak mau!, aku cuma mau pergi ke hutan impianku!, aku tidak mau pergi bersamamu!, aku sudah kapok kau bawa ke kota!” Aku terus teriak sambil berontak meronta. Tapi apa daya, usahaku sia-sia. Tak bergeming, makhluk itu tetap saja menarikku terbang ke angkasa. “Tidak!, tidak mau!, aku tidak mau ke kota!, aku tidak mau diperbudak lagi!, tidaaaak!” @Kutz2013

*********
Kutu Kata, Sarimin, LBW,300413



Badut


Dut, badut, badut jaman sekarang …  mong, omong, omong, omong sembarang,
di televisi,di koran koran, di dalam radio, di atas mimbar,
Para pengaku intelek, Tingkah polahnya lebihi badut
Kaum pencuri tikus. Politikus palsu saingi badut …

Di terik siang ini lagu “Badut” yang dengan lantang dinyanyikan Iwan Fals, cukup membuatku tersenyum. Masa sih para pengaku intelek dan politikus palsu di samakan dengan badut?.

Badut itu lucu?, buat sebagian anak kecil. Tapi buatku sewaktu kecil, melihat badut itu sama seperti melihat monster, menakutkan. Cuma karena make up nya badut saja yang lebih meriah, penuh warna warnI. Jadi menurutku badut itu adalah monster yang di lucu-lucu in ketika itu.  Ya maklum saja nama nya juga anak kecil yang bebas berpendapat. Maaf ya Om badut bukan bermaksud untuk mendiskriminasikan profesi seorang badut. Seiring dengan beranjak nya umur dan pengetahuan tentu saja pendapatku tentang badut juga  berubah.

Siang ini, Klienku  (Seorang Pejabat PEMDA dan seorang Konsultan) ingin bertemu denganku di Taman Mini (TMII). Aneh?, Pikirku. Ketemuan kok di taman mini?, kenapa tidak di restauran atau di food court sebuah mall atau di tempat karaoke sekalian mumpung semua biaya entertain klien di tanggung oleh perusahaan.

Dengan alasan, Kalau hari biasa di Taman Mini, enak Mas, tempat nya sepi, adem dan parkiran nya luas, jadi gak buang-buang waktu nyari tempat parkir, coba kalau di mall, pas jam makan siang, nyari parkiran nya saja sudah membuat kita stress, begitulah alasannya padaku. Hehehe, iya juga sih, Jawabku singkat untuk menyenangkan hati klienku, karena menyenangkan hati klien adalah bagian dari pekerjaanku, sebagai seorang sales alat-alat berat.

Sambil makan siang dan basa basi, kemudian urusan administrasi selesai  dan masalah Fee yang dijanjikan oleh perusahaan untuk klienku beres, akhirnya mereka pun pamit untuk pulang.

Dan aku … setelah membayar bon makan di restauran tempat kami makan tadi, apalagi ya?. Mau balik lagi ke kantor rasa nya malas banget, belum apa-apa sudah terbayang super macetnya jalan Thamrin-Sudirman. Ah, Nanti sore saja telepon Boss, laporan kalau pertemuanku dengan klien tadi telah berjalan lancar dan nampaknya mereka senang dengan janji fee yang akan perusahaan kami berikan apabila pembelian dan penyewaan alat-alat berat untuk proyek perbaikan jalan jatuh ke perusahaanku.  Selesai laporan ke Boss, langsung saja pulang ke rumah, gak usah balik ke kantor lagi. Hm, mantap !, akhirnya ketemu juga solusinya agar aku bisa santai-santai dulu di Taman Mini.

Di bawah pohon rindang yang besar, aku coba untuk menenangkan pikiran dari segala urusan pekerjaan yang telah benyak menyita waktuku sehari-hari. Beberapa pedagang kopi dengan menenteng-nenteng termosnya, menawarkan kopi, teh manis atau minuman panas lainnya padaku, aku jawab  terima kasih, karena aku baru saja selesai makan. Mereka pun akhirnya berlalu dan membiarkan ku sendiri.

Ketika aku sedang menghayal kalau sebentar lagi juga aku akan menerima komisi penjualan yang cukup lumayan jumlahnya kalau proyek perbaikan jalan itu jadi memakai alat-alat berat dari peusahaanku. Seorang badut kecil yang tiba-tiba saja sudah ada di depanku cukup mengagetkanku dan membuyarkan hayalanku seketika itu juga.

“Om, Foto, Om … Foto sama badut, Om !. Aku  hanya bengong menatapnya.

Sedikit demi sedikit  senyumku pun akhirnya mengembang. Hehehe…foto sama badut?, buat apa?, seperti gak ada kerjaan saja ?. Pikir ku dalam hati. Tapi…sekedar untuk menebus rasa bersalahku sewaktu kecil yang menganggap badut itu sama dengan monster, Hmm…boleh juga deh !, buat ‘nyeneng-nyenengin’ si badut kecil itu.

Dengan berbagai gaya yang di lucu-lucuin badut kecil itu berfoto ria di sampingku.  Sementara aku diam saja tanpa ekspresi sedikitpun ketika Tukang foto amatir mulai menjepretkan kamera nya.  Selesai beberapa jepretan, aku pun membayarnya dan Tukang foto amatir itu pun pergi. Akhirnya tinggal aku dan si badut kecil yang masih duduk-duduk di bawah pohon rindang itu.

Badut kecil itu melepaskan riasan topeng dan wig nya karena asesoris itu cukup membuatnya gerah. Dengan wajah masih dipenuhi make up warna-warni yang tebal. Hehehe, dengan mimik wajahnya yang polos, dipoles dengan make up badut, anak ini nampak lucu juga. Akhirnya aku pun tersenyum. Sebuah senyum yang mahal di kala pikiranku stress memikirkan pekerjaanku.

“Gak sekolah?.” Tanyaku sok perduli, mencoba membuka obrolan kami berdua.

“Gak Om !.” Jawabnya acuh sambil mengipas-ngipaskan wignya untuk mengusir gerah.

Dalam hati kecilku lantas saja menyalahkan orang tua anak ini, yang dalam usia sekolah tapi telah membiarkan anak ini kerja jadi badut dan tidak bersekolah.

“Gak sekolah, kamu mau jadi badut terus?.” Tanyaku penasaran.

“Siapa juga yang mau jadi badut terus?, aku cita-cita nya mau jadi anggota DPR, Om?.” Jawabnya mantap.

Wow, tinggi juga cita-cita anak ini, bisikku dalam hati. “Terus kenapa gak sekolah?.” Tanyaku lagi.

“Lagi libur, Om … sebentar lagi kan puasa ?.” Jawabnya santai.

“Puasa ?.” Kok aku gak ‘ngeh kalau sebentar lagi puasa, bisik hatiku.

“Dalam rangka menyambut bulan puasa, sekolah-sekolah diliburin, Om.” Badut kecil itu menerangkan.

“Lho, apa hubungan nya ?, Jadi karena mau bulan puasa sekolah diliburin ?.” Tanyaku penasaran.

“Hehehe, gak tau tuh, Om !, aku sih seneng aja sekolah diliburin, bisa nyari duit jadi badut.” Kata badut 
kecil.

“Duitnya buat bayar sekolah ?.” Tanyaku sok yakin.

“Gak juga !, sebagian aku kasih ‘emak, sebagian lagi buat jajan dan main PS, Om.” Jawabnya polos.

Hehehe, jawaban yang jujur dari seorang anak kecil. Aku suka sekali anak kecil yang berani bicara jujur dan apa adanya. Aku berharap semoga nanti kalau ia sudah dewasa sikap nya pun tidak berubah, jujur dan apa adanya. Ah, aku berharap terlalu banyak, diriku pun tidak bisa bersikap seperti itu apalagi ketika aku sebagai seorang sales yang harus bisa menjual barang daganganku. Barang jelek, aku bilang, gampanglah itu !, semua bisa diatur kok, yang pentingkan ada fee nya. Barang kurang bagus, aku bilang bagus sekali. Barang bagus, sudah barang tentu harganya akan lebih mahal dari yang lainnya. Kalau aku harus bicara jujur dan apa adanya, bagaimana barang daganganku mau laku ?. Sebentar kerja saja, sudah pasti aku dipecat karena penjualan tidak mencapai target.

“Bagaimana bisa jadi anggota DPR kalau kerja nya main PS melulu ?.” Sindirku pada si badut.

“Loh !, jadi anggota DPR kan gak perlu pintar, Om… yang penting berani, vokal dan banyak koneksi.” Jawab nya  meyakinkan.

“Kata siapa begitu ?.” Tanyaku menyelidik.

“Bapak !.” Jawabnya lagi. “Anggota DPR itu kan kerja nya : Datang, Duduk, Diam,Dengkur, terus Duit deh !, yang diperlukan bukan kepintaran, Om… tapi cerdik dalam melihat semua peluang yang ada.” Jawabnya mencoba menjelaskan kepadaku.

“Sok tahu kamu !.” Jawabku ketus.

“Ya jelas tahu, dong !, bapakku itu kan kerja nya klening serpis’ di gedung DPR, tiap pagi bapakku itu yang membersihkan ruangan kerjanya dan menyuguhkan teh manis atau kopi buat bapak-bapak anggota DPR.” Jawab nya tak mau kalah.

Aku diam kehabisan kata.

“Kata bapakku lagi, dalam rangka menyambut bulan puasa ini bukan hanya sekolah-sekolah saja yang diliburin tapi bapak-bapak anggota DPR juga diliburin, masa Reseskata bapakku dari tanggal 31 juli sampai tanggal 15 agustus nanti, Om.” Jelas si badut lagi yang ingin membuatku nampak bodoh karena tidak tahu informasi tentang itu.

“Wow, 2 minggu liburnya ?, enak banget ya jadi anggota DPR ?.” Jawabku nampak polos.

“Maka nya tadi kan aku sudah bilang , kalau sudah besar aku mau nya jadi anggota DPR saja !.” Jawabnya 
mengingatkan aku.

“Terus kalau libur nya sampai 2 minggu dan rakyat ada masalah, mereka mau mengadu kemana ?.” Tanyaku 
semakin nampak bodoh.

“Gak tahu !, EGP, Om !. Jawabnya singkat.

EGP, EGP, EGP … aku berfikir sebentar untuk mencerna kata-katanya. Hehehe, benar juga badut kecil 
itu, EGP, Emangnya Gue Pikirin !.  Bapak-bapak anggota DPR nya saja gak mikirin, kenapa aku repot-repot memikirkan nasib rakyat. Huh, Dasar !. EGP !.

“Tapi, Om..emakku sepertinya gak suka kalau aku punya cita-cita jadi anggota DPR.” Jelasnya sedih.

“Kenapa, emak mu melarang ?.” Tanyaku menyelidik.

“Melarang sih gak, Om… tapi kata emak, hidup aku lebih mulia sekarang jadi badut dari pada nanti kalau 
jadi anggota DPR.” Jelasnya menerawang.

“Kok emakmu bisa bilang begitu?.” Tanyaku tak percaya.

“Ya, kata emak kalau sekarang aku jadi badut kan kerja nya menghibur orang nanti kalau jadi anggota DPR kerja nya malah nyakitin orang.” Jelasnya tambah sedih. “Emak juga bilang, kalau pun aku terpaksa nanti jadi anggota DPR, jadi lah anggota DPR yang pandai mendengar bukan yang pandai berbicara.”

Aku pun hanya diam merenungi kata demi kata yang di ucapkan badut kecil itu.

“Kata emak lagi, di jaman sekarang yang serba sulit ini, rakyat lebih membutuhkan anggota DPR yang pandai mendengar segala keluh kesah rakyatnya, bukan anggota DPR yang cuma  pintar cuap sana cuap sini, bicara nya persis kaya tukang obat di pinggir jalan.” Jelasnya dengan mata berkaca-kaca.

“Hebat ya emakmu, Dut, sekarang tinggal dimana ‘emakmu ?.” Tanyaku salut pada emaknya si badut.

“Di karet !.” Jawabnya singkat.

“Oh, sekeluarga kamu tinggal di karet ?.” Tanyaku pada si badut.

“Sekarang emakku sudah di karet, persis bulan puasa tahun yang lalu, emakku meninggal dunia karena paru-paru.” Jelasnya sedih.

“Inalillahi…Oh….” Aku pun kehabisan kata-kata lagi dan cuma bisa diam menatapi si badut.

Si badut kecil mulai mengenakan kembali riasan dan wig nya, lengkap sudah dandanannya dan kini menjelma kembali menjadi badut.

“Oh, iya, Om…bayarannya mana ?.” Tanyanya sambil menodongkan tangannya padaku.

“Oh, eh … iii…iya.” Akupun sempat tersentak kaget sesaat. Secepatnya aku pun menyerahkan selembar uang kepadanya tanpa sempat ku lihat lagi.

“Seratus ribu ?.” Mata si badut memelototi uang itu. “Gak ada kembaliannya, Om !.” Katanya ceria.

“Ya sudah buat kamu semua !.” Jawabku santai.

“Bener nih, Om ?.” Tanya nya tak percaya.

Aku cuma mengangguk saja tanda setuju.

“Hehehe …Alhamadulillah, doaku dikabulin sama Allah, mak !.” Sahutnya gembira.
Dengan bergegas, badut kecil itu menciumi tanganku, sambil berkata, “Ma kasih, Om… ma kasih, siang ini juga aku mau ngajak bapak nyekar ke makam emak.” Badut kecil itu beranjak pergi.
Aku pun hanya memandangi badut kecil itu, berjalan sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan yang semakin jauh meninggalkanku.

Seketika mataku tertuju kepada beberapa lembar foto-foto yang ada di tanganku. Si badut kecil yang lucu dengan berbagai gaya nya dan aku seorang anak muda yang sulit tersenyum, duduk diam tanpa gaya. Ku pandangi lagi foto-foto itu, kupandangi si badut kecil, kemudian diriku, kupandangi lagi si badut kecil begitu seterusnya kupandangi bergantian beberapa saat. Sebuah pemandangan yang kontras.

Akhirnya aku pun tersenyum. Hehehe, benar juga emakmu bilang, Dut…hidupmu lebih mulia sekarang jadi badut bisa menghibur orang dari pada nanti, jadi anggota DPR bisa nya nyakitin hati rakyat doang.”


Lebak Wangi, Bogor, 8 Agustus 2010
wans_sabang
KETERANGAN
1. PS : Play Station
2. Dengkur : Tertidur pulas sampai mendengkur
3. Klening serpis : cleaning service
4. Karet : salah satu nama TPU (Tempat Pemakaman Umum) di jakarta

Jumat, 31 Mei 2013

Memangnya Nenek Masih Kuat?



       Jakarta, Oh, Jakarta, selalu sibuk berbenah diri kalau lagi ada hajatan. Sebentar lagi ada Pilkada DKI. Jakarta pakailah bedak yang tebal, kalau perlu pakai pemutih wajah biar terlihat “kinclong”. Pakai lipstik warna merah norak biar terlihat seperti nenek keriput yang genit hobinya berdandan, lupa umur kalau ia sudah uzur.
       Nun jauh di ketiak Jakarta, ada sebuah tempat yang hampir tidak masuk dalam peta Jakarta, Taman Lawang namanya.
“Semua makhluk malam yang ada dan hidup di sekitar Taman Lawang harus dibasmi!.” Begitu perintah Komandan Satpol PP.
“Termasuk nyamuk-nyamuk nakal serta kecoa liar*, Dan?.” Tanya seorang anggota Satpol PP.
“Tanpa kecuali!.” Bentak Komandan.
“Tikus got** dibasmi juga?.” Tanya anggota Satpol PP lainnya.
“Bannnnzaaaaai semua! (dibaca: bantai!).” Teriak Komandan.
        Suasana hiruk pikuk, banci-banci berlari ngacak tak tentu arah. Ada yang ngumpet di tong sampah, ada yang berlaga jadi laki-laki, diangkat roknya tinggi-tinggi, kemudian dia lari seperti pelari marathon. Yang menyedihkan, ada juga banci yang nyemplung ke kali (banci itu lupa bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia bisa berenang atau tidak?). Dan seringkali berakhir tragis, banci itu tewas tenggelam dikali.
      
       Tidak hanya banci, para PSK yg mangkal di gubuk-gubuk liar di pinggir kali pun panik diserbu pasukan laler hitam.
“Kita kok gak ditelepon dulu kalau mau ada razia?.” tanya Mo pada Ger.
“Kalau ditelepon dulu bukan razia namanya, hehehe.” Sahut Ger.
“Setoran bulanan sudah dikasihkan, Ger?, Kok masih ada razia juga?.” Tanya Mo lagi.
“Ya percumalah, Mo kita omongin juga gubuk-gubuk kita sudah rata dengan tanah. Mending sekarang kita kabuuuur saja, Mo dari pada nanti kita kena “garuk” juga!.” Ajak Ger pada Mo.
“Yuuuk, Ger!. Yang namanya wong cilik mah’ gak bakal bisa menang.”
“Ojek!, Ojeeek!.” Teriak Ger dan Mo.
Ger dan Mo dibawa kabur si tukang ojek menuju kegelapan malam lalu menghilang seperti setan.

       Satu persatu banci yang terkena razia di naikkan ke truk sampah.
Seorang nenek linglung, bertanya pada seorang banci ‘jail. “Rame-rame, ada apa Neng pada naik ke truk?.”
“Ada pembagian permen, Bo….” Sahut banci Jail asal-asalan.
“Hah!, permen?. Nenek boleh ikut gak?.” Tanya Nenek lugu.
“Boleh, Bo …mau ikut?, naik aja ke truk!.”
“Hehehehe asyiiiiik.” Kata si Nenek girang. “Pembagian permennya nanti di truk?.”
“Ih, rumpi deh si nenek !, nanya-nanya melulu kaya tamu aja!. Tunggu saja tanggal mainnya, Nek.”
“Bioskop kaleeeee, Bo.” Jawab banci lain yang ada disebelah si Nenek.
“Hehehehe… lumayan kan permennya bisa buat cucu.” Sahut si Nenek gembira.
Banci Jail dan nenek itu pun naik ke atas truk sampah. Setelah “muatan” di truk itu penuh, truk itu pun pergi meninggalkan Taman Lawang.

       Tidak jauh dari Taman Lawang, Ger dan Mo kesal memandangi gubuk-gubuknya yang telah porak poranda.
“Kalau minta duit, bilang saja. Gak usah pake’ ngancur-ancurin pangkalan, kasihan kan anak buah kita****.” Sahut Ger prihatin.
“Kapan kita bisa “dagang” lagi?.” Tanya Mo bingung.
“Kalau kelamaan mending kita pulangin saja dulu anak buah kita ke kampungnya.”
“Iya juga sih…biar gak jadi beban kita ” Jawab Ger pasrah.
“Huh, sial!, kurang apa kita sama mereka (baca: pasukan laler hitam)?.” Sahut Ger kesal.
“Rokok gratis, makan gratis, masa m***k mau gratis juga?, memangnya m***k (sebutan : untuk alat kelamin wanita) milik negara?.”
“Kita do’a in saja biar mereka semua masuk neraka!.” Kata Mo kesal juga.
“Hihihihihi, memangnya do’a germo seperti kita ini, masih diterima sama Tuhan?.” Ejek Ger pada Mo.
“Lah!, memangnya Tuhan sudah tutup (maksudnya : pelayanan Tuhan)?.” Tanya Mo polos. “Bukankah Tuhan buka 24 jam?.”

       Diantara deretan para banci dan PSK yang terjaring. Ada si nenek dan banci Jail yang nunggu giliran masuk ruang interogasi.

 “Hei kamu, masuk!.” Teriak angkuh anggota Satpol PP kepada salah seorang banci.
Banci yang ditunjuk itu pun masuk ke ruang interogasi. Diluar ruangan Banci jail membisiki sesuatu kepada si Nenek. “Sssst, kalau mereka minta “service”. Bilang aja mulut nenek lagi sariawan, Bo.”
“Kalau lagi sariawan kan gak boleh makan permen?.” Tanya nenek lugu.
“Ih, rumpi deh si nenek ini!.”
“Kalau saya bilang lagi sariawan, nanti dikasih permen gak?.”
“Ih, si nenek gak gaul Bo… kamseupay (baca: kampungan)!.”
“Pokoknya bilang begitu saja, Nek, biar kita aman Bo.” Sahut banci Jail. “Terus kalau mereka minta “service” lebih, bilang aja Nenek lagi “M”.”
“M itu apa sih, Bo?.” Tanya Nenek bingung.
“Hehehehe, akhirnya gaul juga nih si nenek!.” Canda si banci Jail.
“Dengar ya, Bo kalau mereka maksa, lo bilang aja lagi “M” dari pada “barang” lo nanti dikerubutin laler (maksudnya : diperkosa rame-rame).”
Di ruangan interogasi, Komandan sudah mulai kelelahan karena saking banyaknya banci dan PSK yang terjaring.
“Masih banyak diluar?.” Tanya Komandan pada anggotanya.
“Banci dan PSK sudah habis, Dan … sisanya tinggal nenek-nenek!.” Jawab anggota Satpol PP.
“Nenek-nenek?.” Tanya Komandan heran. “Banci nenek-nenek? atau nennek-nenek PSK?.”
“Gak tau deh, Dan.”
“Suruh, masuk!.”
“Siap!.”
Dengan tenang nya si nenek duduk dihadapan meja Komandan.
Komandan dan anggota Satpol PP yang lain takjub memandangi si nenek yang tenang-tenang saja.
“Zaman edan, zaman edan!.” Sindir seorang anggota satpol PP.
“Dunia sudah mau kiamat, Dan!.” Sindir anggota lainnya sambil melirik ke arah si nenek.
Komandan berfikir sebentar, lalu menepuk-nepuk jidatnya yang jenong.
“Memangnya nenek masih “kuat”?. Tanya komandan lembut pada si Nenek.
“Masih, Pak!.” Jawab si nenek mantap.
“Hah!.” Komandan dan semua anggota Satpol PP yang ada di ruang interogasi kaget. Lalu mereka mulai melirik pada  si Nenek.
“Benar, Nek masih “kuat”?.
“Kalau ngemut-emut aja sih, masih kuat Pak!.”
“Hah!, hahahaha …hahahaha.” Semua pasukan laler hitam tertawa terpingkal-pingkal mendengar penjelasan nenek.
“Kalau di gigit-gigit nenek gak akan kuat, gigi nenek sudah pada ompong.” Jelas nenek polos.
“Memangnya apa yang mau diemut-emut dan di gigit-gigit, Nek?
“Permen.” Jawab si Nenek lugu.
“Permen?.” Serempak mereka bertanya pada si nenek. “Kok, permen?.”
“Iya, kata si Bo ada pembagian permen, makanya Nenek ikut naik ke truk.”
“Pak, Nenek dapatkan permennya?.” Tanya si nenek polos.
“Hehehehe, lumayan buat si bontot, cucu nenek yang paling kecil, dia paling suka sama permen.”
Komandan dan anggota satpol PP lainnya, bengong mendengar penjelasan si nenek. @Kutz,2012

*****

Kutu Kata, Memangnya Nenek Masih Kuat?

Keterangan :
*Nyamuk-nyamuk yang nakal serta kecoa liar : istilah atau sandi yang biasa digunakan untuk para banci dan perempuan PSK.
**Tikus Got : istilah atau bahasa sandi yang biasa digunakan untuk para preman, tukang todong, jambret, copet yang biasa berkeliaran di area lokalisasi.
***Pasukan laler hitam : istilah atau bahasa sandi yang digunakan untuk anggota satpol PP.
****Anak buah : maksudnya adalah para PSK.

Ilustrasi Gambar : bola.inilah.com