Sri apa kamu sudah
lupa?. Aku selalu menunggumu di stasiun ini.
Keberadaanku sering
membuat orang-orang disekitarku merasa tak sedap. Merusak pemandangan pikir
mereka. Kaum wanita segera pergi menjauh, entah karena takut?. Atau jijik
denganku?. Mereka sering menimpuki aku dengan batu. Meludahiku. Mengusirku
dengan sekali kibasan tangannya. Seperti anjing, aku diperlakukan mereka.
Perih dan luka
dipelipis akibat terkena lemparan batu tidak pernah ku hirau. Asal aku bisa
menunggu kedatanganmu di stasiun ini. Menunggumu, Sri lalu berikan senyum
terbaikku dan kemudian menyapamu ; Selamat pagi, Sri!.
Kemudian bersama-sama
menuju kampus yang kita cita-citakan dulu. Menyusuri jalan setapak, melewati
hutan lindung dan pinggiran danau yang teduh sambil berbincang tentang
romantika kehidupan kampus. Aku begitu ingin bertemu denganmu, Sri. Rindu
bertemu denganmu yang membuatku menggigil.
Hingga larut malam,
di saat stasiun telah lengang, berselimut debu dan berbantal lengan, aku
tertidur di emperan pertokoan. Tertidur dalam mimpi yang penuh warna. Tertidur
dalam kerinduan yang tebal.
Sejak lulus-lulusan
sekolah, aku dan Sri sudah jarang bertemu. Sri sibuk mempersiapkan dirinya
untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Sedang aku, cuma sibuk memikirkan Sri
saja. Setiap detik, setiap menit, setiap hari hanya Sri yang ada di dalam
pikiranku. Sri, Sri dan Sri.
Aku sudah bosan
dengar ocehan ‘emak. Din, kamu kan sudah lulus, cepatlah cari kerja!. Masa kamu
cuma mengurung diri saja di kamar!.
Kerja apa ‘mak?, Din
kan cuma lulusan SMA!. Bantahku pada ‘emak.
Kerja apa saja, Din
yang penting kamu gak nyolong dan mencuri!. Sahut ‘emak kesal.
Aku mau kuliah,
‘mak!. Sahutku tak kalah kesalnya.
Kuliah itu mahal,
Din. Dari mana ‘emakmu ini punya duit?. Bapakmu itu cuma sopir bajaj, sekarang
saja sudah sering sakit-sakitan. Bengek’nya sering kambuh. Kalau ‘emak gak
bantu-bantu dagang gado-gado dari mana kita bisa makan?.
Setiap hari itu saja yang diributkan oleh ‘emak dan aku.
Bosan mengurung diri
dikamar, aku pun mencari pelarian ke rumah Sri. Sri yang awalnya ramah dan
sering mengajak belajar bersama di rumahnya, kenapa sekarang ia berubah?.
Apa sejak aku
menyatakan cinta lantas ia menjauh dariku?. Apa salahku, Sri?. Apa mencintaimu
adalah sebuah kesalahan?. Aku cuma ingin jujur pada apa yang aku rasakan dan
tak berharap banyak akan balasan cintamu.
Sri, aku berharap
kamu mengerti dan mau merajut indahnya hidup bersamaku.
Tapi apa jawabmu.
Secuil kata ma’af pun tidak pernah terucap olehmu. Kamu hanya menjauh dan terus
menjauh. Orang tuamu pun lantas berubah sikap padaku. Kau kenalkan tunanganmu
padaku saat aku lari ke rumahmu. Lari dari segala masalah di rumahku, lari dari
kenyataan dan bertemu dengan kenyataan yang lebih pahit. Kamu, tunanganmu dan
orang tuamu adalah pemain sandiwara yang hebat. Dan aku adalah si tolol yang
mudah sekali tertipu keramahan mereka.
Sri, jangan cuma
diam!. Walau kau terus menjauh dan menghilang di telan bumi, sampai kapan pun
ku tunggu jawabanmu. Katakan iya atau tidak, jangan buat aku gila!. Gila
merindumu!. Gila mengenang saat-saat bersamamu!.
Rambut kusut gimbal.
Sisa-sisa kemalasan semakin bertumpuk dan menguning di gigi. Jangankan gosok
gigi, untuk mandipun aku sudah lupa. Entah sudah berapa bulan aku mengurung
diri terus di kamar. Gitar yang sudah dekil, sedekil kulit tubuhku. Kerjaku
cuma menyanyi dan menangis. Lambat laun ingatan ku pun pudar yang ku ingat
hanya lagu itu saja, yang terus menerus ku nyanyikan dengan derai air mata.
Bapak sudah tiada.
Emak’ sibuk berjualan gado-gado ditemani adik perempuanku. Adik laki-laki ku
pun pergi. Tak jelas rimbanya, pulang ke rumah hanya semalam lalu pergi lagi.
Rumah seperti kapal tanpa nahkoda. Kepergian Bapak begitu berarti buat kami.
Terlalu cepat Tuhan memanggilnya. Sebagai anak sulung, seharusnya aku yang
menggantikan peran Bapak. Tapi cinta telah membuat hidupku terpuruk.
Aku tak ingin lagi
menambah beban kesusahan ‘emak. Suatu malam, aku pun pergi meninggalkan rumah.
Meninggalkan ‘emak ku yang tabah dan tegar. Meninggalkan “gua” kamar tempat ku
berlindung dari kenyataan hidup yang pahit. Pergi mencari jawabmu, Sri. Pergi
menjemput cintamu, Sri. Pergi meminang kasihmu, Sri.
Sudah berapa lama aku
berjalan?. Sudah berapa jauh aku melangkah?. Yang ada dikepalaku cuma kamu Sri.
Tak perduli, anak-anak kecil menimpuki dengan batu dan mengatai aku, orang
gila. Tak perduli, para ibu-ibu ketakutan lalu mendekap anaknya dan membawanya
masuk kedalam rumah lalu membanting pintu dan menutupnya. Tak perduli, para
gadis belia ketakutan lalu lari tunggang langgang sambil menjerit histeris
menjauhi aku. Aku benar-benar tak perduli pada mereka semua. Aku tak perduli!.
Tuhan memberikan
kemudahan dan kelimpahan untuk orang gila. Begitu berlimpah makanan yang
tersedia di tempat-tempat sampah, aku tinggal mengoreknya. Mengambil sesuka
hatiku, tak perlu cuci tangan apalagi pakai sabun. Tinggal suapkan saja ke
mulutku yang dekil. Aku bisa makan sesuai seleraku, kalau aku ingin makan
makanan padang, aku tinggal mendatangi saja tempat sampah sebuah rumah makan
padang. Kalau aku mau makan makanan eropa, aku datangi saja tempat sampah
sebuah café. Kalau aku haus, aku bisa minum apa saja. Aku bisa minum air
keran, air hujan atau sisa-sisa minuman orang lain. Kalau mulutku asem,
disepanjang perjalananku, selalu kutemui puntung-puntung rokok. Aku tinggal
memungutnya gratis lalu minta api pada orang lain kemudian menghisapnya
kuat-kuat.
Rokok yang mengepul
adalah sahabat yang paling mengerti aku. Lewat asapnya yang putih aku bisa
menghadirkan Sri. Lewat asapnya yang bau aku bisa menyapa Sri. Hei, Sri apa
kabarmu?. Aku tunggu kamu di stasiun kereta UI. Aku selalu tunggu kamu di
stasiun itu bahkan sampai larut malam. Aku tunggu kamu sampai stasiun gelap,
lengang dan sepi. Bukankah kita pernah berjanji untuk kuliah bersama di kampus
ini?. Naik kereta bersama dan turun di stasiun yang sama. Berjalan bersama
menuju kampus kita. Sri, kamu masih ingatkan semua rencana-rencana kita dulu?.
Jangan kau tanya aku, aku tak mungkin lupa dan tak ingin melupakan itu semua.
Entahlah, kamu Sri?. Apakah kau sekuat aku memegang janji itu.
Jangan kau ragukan
kesetiaanku, Sri. Aku selalu menunggumu. Di stasiun ini. Di kampus ini. Kadang
satpam kampus mengusir dan menangkapku ku ketika aku sedang mencari-carimu.
Sri opo kowe lali.
Kowe lungo ora pamit aku …
Sedang asyiknya aku
bersenandung. Petugas dinas sosial “menggarukku”. Dimasukkannya aku ke panti
rehabilitasi, disana berkumpul orang-orang yang seperti aku. Tidak ada sedih
dan penyesalan di wajah mereka. Seperti aku yang tak pernah menyesal menjadi
orang gila. Beberapa hari di panti rehabilitasi, makan dan pakaianku agak
terurus. Mandi dan bersih-bersih pun menjadi rutinitas. Selepas dari panti,
siapa yang mau menampungku?. Kemana aku harus pulang?, mau rasanya aku menyusul
‘emak dan bapak ke alam kubur. Tapi aku masih mencarimu, Sri. Rasa penasaran
seumur hidup yang membuatku bertahan hidup.
Sri apa kamu lupa?.
Kamu pergi tidak
pamit aku.
Kemana-mana aku
mencarimu, Sri.
Tapi kamu pergi entah
kemana?.
Lagi-lagi anak-anak kecil di kampung itu menimpukiku dengan batu-batu kecil. Meneriakiku dengan sebutan ; orang gila!, orang gila!. Orang-orang bilang aku gila, ah!, aku tak perduli. Cuma kamu yang aku cari, Sri. Cuma kamu!.
*****
Orang-Orang Bilang Aku Gila, 18102012
Orang-Orang Bilang Aku Gila adalah salah sebuah kumpulan cerpen Kutu Kata.
Cerpen-cerpen yang lainnya adalah :
1.
Siapa Yang Menghamili Wanita Gila itu? http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/01/siapa-yang-menghamili-wanita-gila-itu/
2.
Dokter Jiwa Dan Pasiennya
3.
Aku Menulis Karena Aku Sakit Jiwa
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/09/29/aku-menulis-karena-aku-sakit-jiwa/
Keterangan Gambar : MANUNGGAL - Karya : Wans Sabang, 13042013
Keterangan Gambar : MANUNGGAL - Karya : Wans Sabang, 13042013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar