Ada yang harus
diperbaiki dalam hubungan kerja sama ini. Pikirku
keras. Tidak ada kontrak. Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang hak-hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang bekerjasama.
Kerjasama di
bidang show biz terjadi begitu saja. Sejak kecil aku
dipelihara dan tumbuh besar bersama mereka. Melakukan disiplin dan aturan ketat
agar aku bisa dilatih melakukan gerakan-gerakan yang mereka perintahkan.
Walaupun aku
tidak mengerti maksud dari gerakan-gerakan itu tapi aku harus menurutinya. Jika
tidak, jatah makan ku bisa telat diberikan. Hukuman lainnya juga tidak luput
aku terima mulai dari omelan, caci maki dan pukulan di kepalaku.
Semakin beranjak
dewasa, banyak pula yang menjadi beban pikiranku. Hidup bukan hanya untuk makan
dan tempat tinggal saja.
Seperti manusia,
sebagai makhluk hidup aku butuh menyayangi dan disayangi oleh lawan jenis.
Setua ini aku belum pernah merasakan. Apakah tidak pernah terpikirkan oleh
mereka? Bukankah ini kebutuhan yang hakiki juga bagi setiap makhluk hidup? Aku
ingin punya pasangan hidup dan anak-anak yang kelak akan tinggal bersamaku.
Ketidak
perdulian mereka semakin membuatku resah. Aku hanya disuruh untuk bekerja dan
terus bekerja. Sarimin pergi ke pasar!, Sarimin pergi ke sawah!, Sarimin pergi
berperang!, tidak ada waktu untuk libur, beristirahat dan bermain-main.
Sarimin!, Sarimin!, Ayo Sarimin!. Selalu saja Sarimin, selalu saja aku yang
disuruh-suruh. Sedikit saja aku malas melakukan apa yang mereka suruh, tidak
segan-segan mereka menjatuhi hukuman. Tidak adil! Aku harus berhenti dari
kerjasama ini - atau mungkin
ini bukan sebuah bentuk kerjasama tapi lebih pantas disebut perbudakan. Perbudakan yang hanya ada pada
setiap penjajahan. Penjajahan oleh makhluk hidup kepada makhluk hidup lainnya.
Tiap hari
kerjaku menghibur, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Melakukan
gerakan-gerakan yang telah dilatih sejak aku kecil. Penonton tertawa-tawa
melihat gerak tingkahku. Apa yang lucu? Buatku itu tidak lucu! Anehnya setiap
gerak yang ku lakukan selalu saja jadi bahan tawaan. Apakah penonton pikir, aku
bermaksud melucu? Disaat suka atau tidak, senang atau sedih, lelah atau resah,
aku hanya harus turuti perintah Pak Ketua.
Penonton yang
terhibur melihat pertunjukanku, mereka tidak sayang untuk merogoh kocek. Uang
hasil pertunjukan dikumpulkan oleh Pak Ketua. Selesai melakukan satu
pertunjukan, kami sudah harus bersiap kembali melakukan perjalanan, memasuki
kampung demi kampung. Hampir setiap hari dari pagi hingga sore tiba, perjalanan
yang cukup melelahkan. Saat matahari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat
tanda bahwa pertunjukan hari ini telah selesai dan kami harus pulang. Dalam
perjalanan kembali ke rumah, di suatu tempat yang agak sepi Pak Ketua dan si
penabuh gendang bersama menghitung uang. Selesai dihitung, uang hasil
pertunjukan mereka bagi berdua. Sementara aku? Hanya diberi pisang dan seteguk
air. Itu masih lebih baik, jika uang hasil pertunjukan pas-pasan aku hanya diberi
sisa makanan mereka yang telah basi.
Bagi hasil yang
tidak seimbang. Pak Ketua dan si penabuh gendang bisa menghidupi keluarganya
dari hasil jerih payahku juga. Memang aku tidak membutuhkan uang! Tapi hidup
bukan hanya untuk mendapatkan setandan dua tandan pisang dan tempat bernaung
saja. Ada mimpi yang harus aku wujudkan. Tinggal bersama keluarga besarku di
tengah hutan rindang yang penuh gelak tawa dan canda diantara kami.
Saat malam
ketika derik jangkrik nyaring terdengar. Pak Ketua dan si penabuh gendang yang
tinggal saling bersebelahan telah kembali ke peraduan bersama keluarganya.
Sementara aku, sendiri dirayapi sepi. Menatapi bulan dan bintang-bintang yang
hanya diam saja, tak bisa berbuat apa-apa melihat kesedihanku.
Apa seumur hidup
aku akan sendiri seperti ini? Aku harus pergi! Pergi kemana? Ke hutan impianku?
Kemana arah menuju ke hutan itu pun aku tidak tahu. Aku hanya tahu jalan
perkotaan saja yang biasa aku lewati dari kampung ke kampung saat melakukan
pertunjukan. Bagaimana aku bisa kabur jika rantai yang melingkar di leher
terlalu kuat untuk bisa kupatahkan? Ah, mustahil aku bisa pergi! semalaman aku
terus terjaga memikirkan itu. Malam demi malam yang selalu menggelisahkanku
hingga tanpa terasa berat badanku pun susut, tubuhku tinggal tulang yang
dilapisi kulit saja.
Suatu siang yang
terik. Pak Ketua dan si penabuh gendang masuk ke dalam sebuah warung nasi.
Sementara aku, di ikatkan di gerobak yang diletakkan di depan warung. Iseng,
aku menarik-narik tali kekang yang mengikatku. Ternyata ikatannya tidak kuat.
Tali kekang yang tersambung dengan rantai dileherku pun terlepas. Ha!
Sekaranglah waktunya! Kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini, seumur hidup aku
akan terus diperbudak.
Sekejap aku
telah melompat ke sebuah pohon. Melompat dari ranting ke ranting, berlari
menyusuri batang yang lebih besar lalu melompat ke pohon lainnya.
“Hei ! Ada
monyet terlepas!” Teriak seseorang sambil menunjuk ke arahku. Teriakkan orang
itu membuat suasana gaduh. Orang-orang banyak ikut menonton dan menunjuk ke arahku
sambil berteriak-teriak. Pak Ketua dan si penabuh gendang bergegas keluar dari
warung.
“Sarimin !,
Sarimin !, Ayo turun!” Panggil Pak Ketua yang diikuti dengan bujukan si penabuh
gendang.
Aku tidak mau!
Aku terus berlari melompat menyeberang ke pepohonan lainnya. Terus saja berlari
tak perdulikan panggilan Pak Ketua dan si penabuh gendang lagi.
Sampai di sebuah
perkampungan. Suasana semakin gaduh. Orang ramai berteriak. Aku tidak tahu
harus kemana? Beberapa dari mereka menimpuki dengan batu. Aku panik. Terus
melompat-lompat dari genteng ke genteng rumah lainnya, sehingga beberapa
genteng ada yang melorot dan jatuh ke tanah, suasana makin tak terkendali.
Sebongkah batu tepat mengena di kepalaku, aku sempat terhuyung. Tangan ku kuat
mencengkeram tembok agar aku tidak terjatuh. Aku harus kuat! Mencoba bangkit
agar aku bisa pergi dari kegaduhan ini.
Tiba-tiba
sebutir timah panas menembus dadaku. Nyeri sekali ! Aku tekan bagian dadaku
agar rasa sakitnya berkurang. Darah yang merembes dari dada semakin deras, aku
harus kuat!, aku harus kuat!. Sekujur badanku dibasahi darah. Penglihatanku
kabur. Semakin redup lalu sedetik kemudian gelap menyelimuti pandanganku.
“Mampus kau
monyet!” Teriak seorang kakek berrambut cepak ala militer.
“Mampus dia kena
tembakanku!” Teriak kakek itu dari atas balkon rumahnya kepada orang ramai
dibawahnya yang sedari tadi mengejar-ngejarku.
Orang ramai pun
mengelu-elukan kakek cepak itu, memuji ketangkasannya dalam menembakku.
“Hebat Pak
Udaya, tembakannya masih OK juga!” Puji salah seorang diantara mereka sambil
mengacungkan jempolnya memandang ke arah Pak Udaya yang masih angkuh berdiri
diatas balkon rumahnya. Pak Udaya membalas pujian orang itu dengan
senyam-senyum penuh wibawa.
“Horeeee! Sudah
tidak ada lagi perusuh di kampung kita!” Teriak salah seorang lainnya.
Setelah hembusan
napas terakhirku, aku dijemput makhluk bersayap yang berkilau cahaya.
“Hei, mau dibawa
kemana aku?” Tanyaku keheranan.
“Menjemputmu
pulang ke hadirat-Nya.” Jawab makhluk itu penuh kelembutan.
“Tidak!, tidak
mau!, aku cuma mau pergi ke hutan impianku!, aku tidak mau pergi bersamamu!,
aku sudah kapok kau bawa ke kota!” Aku terus teriak sambil berontak meronta.
Tapi apa daya, usahaku sia-sia. Tak bergeming, makhluk itu tetap saja menarikku
terbang ke angkasa. “Tidak!, tidak mau!, aku tidak mau ke kota!, aku tidak mau
diperbudak lagi!, tidaaaak!” @Kutz2013
*********
Kutu Kata, Sarimin,
LBW,300413
Tidak ada komentar:
Posting Komentar