Minggu, 09 Juni 2013

Sarimin



Ada yang harus diperbaiki dalam hubungan kerja sama ini. Pikirku keras. Tidak ada kontrak. Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bekerjasama.
Kerjasama di bidang show biz terjadi begitu saja. Sejak kecil aku dipelihara dan tumbuh besar bersama mereka. Melakukan disiplin dan aturan ketat agar aku bisa dilatih melakukan gerakan-gerakan yang mereka perintahkan.
Walaupun aku tidak mengerti maksud dari gerakan-gerakan itu tapi aku harus menurutinya. Jika tidak, jatah makan ku bisa telat diberikan. Hukuman lainnya juga tidak luput aku terima mulai dari omelan, caci maki dan pukulan di kepalaku.
Semakin beranjak dewasa, banyak pula yang menjadi beban pikiranku. Hidup bukan hanya untuk makan dan tempat tinggal saja.
Seperti manusia, sebagai makhluk hidup aku butuh menyayangi dan disayangi oleh lawan jenis. Setua ini aku belum pernah merasakan. Apakah tidak pernah terpikirkan oleh mereka? Bukankah ini kebutuhan yang hakiki juga bagi setiap makhluk hidup? Aku ingin punya pasangan hidup dan anak-anak yang kelak akan tinggal bersamaku.
Ketidak perdulian mereka semakin membuatku resah. Aku hanya disuruh untuk bekerja dan terus bekerja. Sarimin pergi ke pasar!, Sarimin pergi ke sawah!, Sarimin pergi berperang!, tidak ada waktu untuk libur, beristirahat dan bermain-main. Sarimin!, Sarimin!, Ayo Sarimin!. Selalu saja Sarimin, selalu saja aku yang disuruh-suruh. Sedikit saja aku malas melakukan apa yang mereka suruh, tidak segan-segan mereka menjatuhi hukuman. Tidak adil! Aku harus berhenti dari kerjasama ini - atau mungkin ini bukan sebuah bentuk kerjasama tapi lebih pantas disebut perbudakan. Perbudakan yang hanya ada pada setiap penjajahan. Penjajahan oleh makhluk hidup kepada makhluk hidup lainnya.
Tiap hari kerjaku menghibur, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Melakukan gerakan-gerakan yang telah dilatih sejak aku kecil. Penonton tertawa-tawa melihat gerak tingkahku. Apa yang lucu? Buatku itu tidak lucu! Anehnya setiap gerak yang ku lakukan selalu saja jadi bahan tawaan. Apakah penonton pikir, aku bermaksud melucu? Disaat suka atau tidak, senang atau sedih, lelah atau resah, aku hanya harus turuti perintah Pak Ketua.
Penonton yang terhibur melihat pertunjukanku, mereka tidak sayang untuk merogoh kocek. Uang hasil pertunjukan dikumpulkan oleh Pak Ketua. Selesai melakukan satu pertunjukan, kami sudah harus bersiap kembali melakukan perjalanan, memasuki kampung demi kampung. Hampir setiap hari dari pagi hingga sore tiba, perjalanan yang cukup melelahkan. Saat matahari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat tanda bahwa pertunjukan hari ini telah selesai dan kami harus pulang. Dalam perjalanan kembali ke rumah, di suatu tempat yang agak sepi Pak Ketua dan si penabuh gendang bersama menghitung uang. Selesai dihitung, uang hasil pertunjukan mereka bagi berdua. Sementara aku? Hanya diberi pisang dan seteguk air. Itu masih lebih baik, jika uang hasil pertunjukan pas-pasan aku hanya diberi sisa makanan mereka yang telah basi.
Bagi hasil yang tidak seimbang. Pak Ketua dan si penabuh gendang bisa menghidupi keluarganya dari hasil jerih payahku juga. Memang aku tidak membutuhkan uang! Tapi hidup bukan hanya untuk mendapatkan setandan dua tandan pisang dan tempat bernaung saja. Ada mimpi yang harus aku wujudkan. Tinggal bersama keluarga besarku di tengah hutan rindang yang penuh gelak tawa dan canda diantara kami.
Saat malam ketika derik jangkrik nyaring terdengar. Pak Ketua dan si penabuh gendang yang tinggal saling bersebelahan telah kembali ke peraduan bersama keluarganya. Sementara aku, sendiri dirayapi sepi. Menatapi bulan dan bintang-bintang yang hanya diam saja, tak bisa berbuat apa-apa melihat kesedihanku.
Apa seumur hidup aku akan sendiri seperti ini? Aku harus pergi! Pergi kemana? Ke hutan impianku? Kemana arah menuju ke hutan itu pun aku tidak tahu. Aku hanya tahu jalan perkotaan saja yang biasa aku lewati dari kampung ke kampung saat melakukan pertunjukan. Bagaimana aku bisa kabur jika rantai yang melingkar di leher terlalu kuat untuk bisa kupatahkan? Ah, mustahil aku bisa pergi! semalaman aku terus terjaga memikirkan itu. Malam demi malam yang selalu menggelisahkanku hingga tanpa terasa berat badanku pun susut, tubuhku tinggal tulang yang dilapisi kulit saja.
Suatu siang yang terik. Pak Ketua dan si penabuh gendang masuk ke dalam sebuah warung nasi. Sementara aku, di ikatkan di gerobak yang diletakkan di depan warung. Iseng, aku menarik-narik tali kekang yang mengikatku. Ternyata ikatannya tidak kuat. Tali kekang yang tersambung dengan rantai dileherku pun terlepas. Ha! Sekaranglah waktunya! Kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini, seumur hidup aku akan terus diperbudak.
Sekejap aku telah melompat ke sebuah pohon. Melompat dari ranting ke ranting, berlari menyusuri batang yang lebih besar lalu melompat ke pohon lainnya.
“Hei ! Ada monyet terlepas!” Teriak seseorang sambil menunjuk ke arahku. Teriakkan orang itu membuat suasana gaduh. Orang-orang banyak ikut menonton dan menunjuk ke arahku sambil berteriak-teriak. Pak Ketua dan si penabuh gendang bergegas keluar dari warung.
“Sarimin !, Sarimin !, Ayo turun!” Panggil Pak Ketua yang diikuti dengan bujukan si penabuh gendang.
Aku tidak mau! Aku terus berlari melompat menyeberang ke pepohonan lainnya. Terus saja berlari tak perdulikan panggilan Pak Ketua dan si penabuh gendang lagi.
Sampai di sebuah perkampungan. Suasana semakin gaduh. Orang ramai berteriak. Aku tidak tahu harus kemana? Beberapa dari mereka menimpuki dengan batu. Aku panik. Terus melompat-lompat dari genteng ke genteng rumah lainnya, sehingga beberapa genteng ada yang melorot dan jatuh ke tanah, suasana makin tak terkendali. Sebongkah batu tepat mengena di kepalaku, aku sempat terhuyung. Tangan ku kuat mencengkeram tembok agar aku tidak terjatuh. Aku harus kuat! Mencoba bangkit agar aku bisa pergi dari kegaduhan ini.
Tiba-tiba sebutir timah panas menembus dadaku. Nyeri sekali ! Aku tekan bagian dadaku agar rasa sakitnya berkurang. Darah yang merembes dari dada semakin deras, aku harus kuat!, aku harus kuat!. Sekujur badanku dibasahi darah. Penglihatanku kabur. Semakin redup lalu sedetik kemudian gelap menyelimuti pandanganku.
“Mampus kau monyet!” Teriak seorang kakek berrambut cepak ala militer.
“Mampus dia kena tembakanku!” Teriak kakek itu dari atas balkon rumahnya kepada orang ramai dibawahnya yang sedari tadi mengejar-ngejarku.
Orang ramai pun mengelu-elukan kakek cepak itu, memuji ketangkasannya dalam menembakku.
“Hebat Pak Udaya, tembakannya masih OK juga!” Puji salah seorang diantara mereka sambil mengacungkan jempolnya memandang ke arah Pak Udaya yang masih angkuh berdiri diatas balkon rumahnya. Pak Udaya membalas pujian orang itu dengan senyam-senyum penuh wibawa.
“Horeeee! Sudah tidak ada lagi perusuh di kampung kita!” Teriak salah seorang lainnya.
Setelah hembusan napas terakhirku, aku dijemput makhluk bersayap yang berkilau cahaya.
“Hei, mau dibawa kemana aku?” Tanyaku keheranan.
“Menjemputmu pulang ke hadirat-Nya.” Jawab makhluk itu penuh kelembutan.
“Tidak!, tidak mau!, aku cuma mau pergi ke hutan impianku!, aku tidak mau pergi bersamamu!, aku sudah kapok kau bawa ke kota!” Aku terus teriak sambil berontak meronta. Tapi apa daya, usahaku sia-sia. Tak bergeming, makhluk itu tetap saja menarikku terbang ke angkasa. “Tidak!, tidak mau!, aku tidak mau ke kota!, aku tidak mau diperbudak lagi!, tidaaaak!” @Kutz2013

*********
Kutu Kata, Sarimin, LBW,300413



Tidak ada komentar: