Sabtu, 30 Maret 2013

Malin Kundang Jilid 2





“Assalamu’alaikum …”
“Wa alaikum salam …” Seorang nenek seketika menghentikan pekerjaannya menyapu halaman.
“Amak … “ Pemuda yang memasuki halaman rumah nenek itu menyapa.
“Hah !, Malin!.” Seorang nenek terkejut melihat pemuda itu. “Kau kah Malin, anakku?.”

Sang nenek dengan mata penuh selidik memandang lekat pemuda itu.“Malin, anakku dulu adalah anak yang cakap, putih, bersih dan badannya tegap berisi.”
Dengan raut tak percaya nenek itu menumpahkan amarah kepada Malin. “Jawab dulu!, Kau kah Malin anakku?.”

“Iyo, Amak… .”
“Oh, Malin … Malin!.” Nenek itu meradang sedih. “Kenapa kau jadi kurus begini?, kulitmu legam terbakar matahari, dan lihat!, pakaianmu…?, kumal dan kotor, tak pantas kusebut kau, Malin!.”
“Pantas saja, di pelabuhan tak ada keramaian orang menyambutmu.” Kata Amak lirih. “Beda sekali dengan dulu, ninik mamak, sanak saudara dan orang-orang dikampung dengan suka cita mengantar kepergianmu merantau.”
“Mana istrimu yang cantik?.” Tanya Amak sinis. “Dan pengawal-pengawalmu yang gagah?.”
“Malin datang sendiri, Amak.”
“Mana mobil mewah?, dan pegawai-pegawai mu yang banyak?.”

Malin cuma diam, menundukkan wajahnya menatapi tanah. Ia malu ditelanjangi Amak seperti itu.

“Jadi, apa yang kau bawa dari merantau, Malin?.” Tanya Amak lagi.
“Jangankan untuk membeli sawah dan kerbau yang banyak, untuk mengembalikan sawah dan kerbau yang telah ku jual untuk bekalmu saja, kau tak mampu!.” Kata Amak kesal.
“Malin telah berhasil, Amak.” Sahut Malin dengan wajahnya yang berseri.
“Apa?.” Amak kaget dan marah. “Inikah yang kau sebut berhasil, Malin!.”
“Malin telah berhasil bertemu Ayah, Amak.” Jawab Malin dengan mata yang berbinar antara sedih dan gembira.
“Datuk Rangkayo bukanlah Ayah Malin.” Malin berkata lantang kepada Amak. “Amak tak pernah cerita pada Malin, siapa Ayah Malin yang sebenarnya.”
“Amak kejam!, Amak tak pernah mau tahu kegusaran hati Malin!.” Malin menumpahkan segala kesalnya pada Amak.
“Pantas, Datuk Rangkayo sering marah dan memukuli Malin sejak kecil karena Malin bukanlah anaknya dan ia tidak punya rasa sayang sedikitpun pada Malin.”
Amak tertunduk sedih mendengar perkataan Malin.
“Beda sekali perlakuan Datuk Rangkayo pada Malin dan Zainab*, salah sedikit saja Malin langsung dipukuli, Amak cuma bisa bilang ; sabarlah, Malin!, sabarlah!, Anak laki-laki ‘tak pantas menangis!.”
“Iya, Datuk Rangkayo memang bukanlah ayahmu, Malin.” Sahut nenek itu lirih.
“Dari kecil, Amak bohongi Malin terus!, apa karena Malin ini anak haram, Mak!.” Sahut Malin lantang.
“Malin!.” Nenek itu menegur Malin keras. “Tak sopan, kau bicara begitu!.”
Beberapa detik Malin dan Amak saling diam, masing-masing menekuri tanah.
“Hubungan Amak dan Ayahmu dilarang oleh orang tua Amak, karena ayahmu bukanlah dari keluarga bangsawan. Hubungan cinta kami pun menjadi hubungan cinta yang terlarang.” Amak menjelaskannya pada Malin.

“Semakin dilarang, hubungan cinta kami pun semakin jauh, hingga akhirnya Amak hamil. Ayahmu berjanji untuk membawa Amak pergi jauh dari kampung ini, merantau ke negeri seberang. Mendengar janjinya, Amak menjadi tenang karena memang Amak begitu mencintai Ayahmu. Ketika bulan purnama tiba, seperti janji Ayahmu, Amak menunggu di pelabuhan. Sejam dua jam hingga adzan subuh memanggil, Ayahmu tidak kunjung tiba. Esoknya Amak menunggu lagi dipelabuhan, lusa nya pun begitu, jangankan batang hidungnya, kabar beritanya pun tak ada. Semakin hari perut buncit Amak semakin terlihat, untuk menutupi malu akhirnya Amak mau menerima pinangan Datuk Rangkayo.”

“Kenapa Amak tidak pernah cerita pada Malin?.”
“Terlalu sakit untuk diceritakan, Malin.” Sahut Amak lirih. “Amak berharap waktu jua yang akan menyembuhkan luka…. .”
“Kenapa Amak masih saja mengharap pada sang waktu?, bukankah dulu di pelabuhan Amak juga begitu?, mengharap pada sang waktu… tapi apa yang sang waktu berikan?, hanya kecewa dan sakit hati, Mak!.”
“Apakah Amak masih mencintai si “pengecut” itu?.”
“Tak tahulah, Malin … “ Amak tidak bisa menjawab pertanyaan Malin. Karena dihati Amak yang paling dalam sesungguhnya ia masih mencintai Ayahnya Malin.
“Amak tak bisa menjawab karena Amak masih mencintai si “pengecut” itu !.” Sahut Malin lantang. “Seperti halnya luka … sang waktu pun tak bisa berbuat apa-apa, Mak!, Ia tak bisa menyembuhkan luka dan tak bisa juga menghapuskan cinta!, cuma kita sendiri Mak yang bisa!.”
Amak diam saja mendengar penjelasan Malin.
“Malin sudah bertemu Ayah, Mak!, Dan Malin sudah membunuhnya!.” Sahut Malin tenang.
“Hah!, Apa…?.” Amak kaget.
“Tak pantas pula, si “pengecut itu kupanggil Ayah, Mak!. Setelah Malin bertemu, tak ada sedikitpun rasa kangen seorang Ayah terhadap darah dagingnya sendiri. Setelah datang dari kampung, kerjanya cuma jadi ‘preman, mabuk-mabukan, main judi, main perempuan, merampok dan membunuh.”

Merah muka Amak karena malu, begitu tahu orang yang masih dicintainya hanyalah seorang ‘preman.

“Apalah ruginya, Malin bunuh 1 orang sampah masyarakat walau Malin harus tebus dengan bui 10 tahun!.” Jawab malin bangga. “Malin sudah balaskan sakit hati Amak karena Malin sayang sama Amak dan di dunia ini cuma Amak yang sayang sama Malin.”
Oh, Tuhan!, haruskah ku kutuk buah cinta yang ku sayang ini menjadi batu?. Air mata Amak yang mengembang itu pun akhirnya jatuh membasahi pipinya yang telah keriput.


Malin Kundang Jilid 2, 11032012

*Zainab : Dalam cerpen ini adalah adik nya Malin, satu ibu tapi lain bapak.

Keterangan Gambar : PEMBUNUHAN - Karya : Wans Sabang, 13042013



Jaka Tarub Dan Bidadari Berlesung Pipi






Menapaki tangga pelangi, para bidadari turun dari langit.
Ingin merasai air bumi, merekapun mandi di telaga sepi. Ah, apa bedanya air bumi dan surgawi?. Bukankah sama-sama air?. Di surga cuma ada air yang manis, di bumi ada air yang pahit bahkan getir, Dik!. Begitulah penjelasan kakak-kakakku ketika di surga.
Mandi dan terus mandi, terlalu asyik hingga kami lupa diri. Bumi yang pahit mengasyikkan. Bumi yang getir tapi bisa membuat kami lupa diri.

Dibalik rerimbunan daun. Jaka Tarub berjingkat berhati-hati. Mendengar cekikikan canda tawa yang membangkitkan birahi. Apakah ini bukan mimpi di siang hari?.
Mata Jakat Tarub tak berkedip sedetikpun. Ia nikmati tubuh-tubuh putih para bidadari. Oh, Tuhan, ini rejeki!, rejeki!, teriak batinnya kegirangan. Ia pandangi terus hingga imaginasinya klimaks. Keberaniannya pun ter-ejakulasi.

Siapakah engkau, Hai!, Jaka Tarub?.  Si pemanah burung rajawali!.
Siapakah engkau, Hai!, Jaka Tarub?.  Si pengelana miskin papa!.
Ah!, pergilah kau jiwa pengecutku!, pergilah kau ke tempat yang jauh!, sebelum ku panah dirimu hingga tercabik-cabik.

Siapakah yang aku cari?. Tak ada cela sedikitpun. Semuanya cantik-cantik. Semuanya putih-putih.
Siapakah yang aku pilih?. Biarlah, tangan Tuhan yang menuntunku.

Jaka Tarub pun nekad. Sembarang kain dan selendang lalu ia curi.
Selesai asyik mandi, para bidadari kembali ke surgawi. Pelangi pun pergi meninggalkan telaga sendiri lagi. Sepi … cuma terdengar isak tangis si Lesung Pipi.

Hayo!, Jaka Tarub, apa lagi yang kau tunggu?.
Akankah kau tunggu matahari hilang ditelan punggung bukit?.
Akankah kau tunggu matahari lelah rebah ke peraduan?.

Si Lesung Pipi menggigil sendiri.
Bukankah ia gadis yang sering kau hadirkan dalam mimpi-mimpimu?.
Bukankah ia gadis yang sering kau ajak bercinta dalam angan-anganmu?
C’mon, Jaka Tarub!. Kenapa kau jadi mem-banci.

Dibenarkan letak busur dan anak panah di punggungnya. Dipetiknya setangkai bunga nan wangi lalu diselipkan ditelinganya. Ahai!, sudah gagah nampaknya aku ini.
Betis kekarnya tajam menancap tanah tapi keraguan telah mengubur jiwa ksatrianya.
Bukankah dengan satu keyakinan, kau bisa memanah rajawali hanya dengan satu anak panah saja?.

Sudah kubidik ia sedari tadi, tapi … memanah cinta tak semudah memanah burung rajawali?.
Wahai, Jaka tarub!, bukankah kau seorang pemanah sejati?. Busur dan anak panahmu selalu lapar ketika melihat sasaran. Seperti jiwamu yang lapar akan cinta.
Jaka Tarub pun menghampiri bidadari berlesung pipi.

“Wahai adik, tak perlu kau menangis?, ada kanda disini yang bersedia menemani.”
“Hah!, siapakah kau?.” Si Lesung Pipi terkejut.
“Aku Jaka Tarub si pemanah burung rajawali, si pengelana miskin papa.”
“Oh, tidak!… apakah kau laki-laki itu yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukku!.” Teriak Si Lesung Pipi, “Pergilah kau!, pergi!, aku tak percaya pada laki-laki!.”

Si Lesung Pipi gundah, ia tenggelamkan tubuh putihnya kedalam telaga.

“Bangkitlah, dik!, apakah kau akan berendam seharian ditelaga ini?.”

Ditunggunya sejenak, dua jenak, hingga berjenak-jenak, Jaka Tarub pun putus asa.

“Baiklah kalau kau mau tetap disini sendiri dan mati kedinginan, aku akan pergi!.”

Jaka Tarub pun membalikkan badannya.

“Kak… .!.” Si Lesung Pipi memanggil.

Panggilan merdu si Lesung Pipi, semerdu suara seruling si gembala di padang rumput, yang memaku kaku kaki Jaka Traub. Ia pun mngurungkan  niatnya untuk pergi.

“Berikan kain sarung itu!.” Pinta si Lesung Pipi pada Jaka Tarub. “Dan cepatlah, kau balikkan badan!.”

Jaka Tarub menurut saja. Si Lesung Pipi kini sudah berkain sebatas dada.

“Aku tidak bisa kembali ke surga karena tubuh putihku telah terlihat oleh laki-laki.” Lirih suara si Lesung Pipi sedih. “Sungguh suatu aib bagi kaum kami di surga.”

“Mau kah kau tinggal bersama di pondokku?.” Ajak Jaka Tarub pada si Lesung Pipi.

“Ah, dimana lagi aku bisa tinggal selain di pondokmu?, karena hanya kau satu-satunya laki-laki yang pernah ku kenal.”

Singkat cerita, waktu terus bergulir seperti roda raksasa yang terus berputar. Atau diputar?.
Malam demi malam dilalui bersama. Bergelut mesra, berburu desah.  Seratus sentuhan, sejuta cengkraman larut dalam satu genggaman kenikmatan.  Seratus tanya, sejuta keraguan larut dalam satu resah yang selalu menjadi momok dalam pikiran Jaka Tarub.

“Wahai, Kakak, apakah kau seorang ksatria atau hanyalah seorang laki-laki yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukku?.”
“Jawablah yang jujur, Kak!.”

Sejak malam pertama, hingga berpuluh-puluh malam, hanya itu- itu terus yang ia tanyakan. Sebuah pertanyaan yang konyol. Sebuah pertanyaan yang tak perlu ku jawab. Bisik batin Jaka tarub.

Bukankah kita sekarang telah berjaya. Sawah yang dulu tak pernah ku punya, kini telah berhektar-hektar kita punya. Seekor ternak pun yang dulu tak pernah ku punya, kini telah beranak pinak, ayam, kambing dan kerbau. Apalagi yang kau cari dalam hidupmu, Dik?. Kebahagiaan yang seperti apa lagi yang belum kau rasakan, Dik?. Mengapa hanya, pertanyaan itu- itu saja yang terus kau lontarkan setelah kita berdua puas berasyik masyuk.

“Jawablah yang jujur, wahai ksatria!.”
“Jawablah yang jujur, wahai ksatria!.”
“Jawablah yang jujur, Kak!.”

Pertanyaan yang memekakkan telinga, menoreh luka lama yang tak sembuh-sembuh. Pertanyaan itu!, bagai cuka yang kau teteskan dalam lukaku yang semakin menganga.

“Percayalah, Dik… aku adalah ksatria mu!, kakak yang mencintai dan mengasihimu!.” Jawab Jaka Tarub, telah habis kesabarannya.

“Jawablah yang jujur, ksatria ku!.” Tantang si Lesung Pipi pada Jaka Tarub.”Kalau kau memang ksatria ku dan bukanlah seorang laki-laki yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukku!.”

Bagai ditempeli sebilah belati di lehernya, Jaka Tarub pun pucat pasi. Keringat sebesar-besar jagung menetes dari keningnya yang telah berkerut.

“Sudah berapa lama kau pandangi tubuh-tubuh putih kami waktu di telaga dulu?.” Tanya si Lesung Pipi tegas. “Jawablah yang jujur, ksatriaku!.”

“Ah, eh, oh (salah tingkah), kenapa kau tanyakan itu, Dik?, itu kan sudah lama berlalu, ah, aku sudah lupa.”

“Bukankah Kakak yang telah mencuri kain dan selendangku?.” Tanya si Lesung Pipi tenang.
“Jawablah yang jujur, Kak.” Pinta si Lesung Pipi memohon.
“Hah!, apa? (marah) Buat apa aku mencuri kain dan selendangmu?, tak ada kah sedikitpun rasa terima kasihmu pada  orang yang telah berbaik hati menolongmu?.”
“Duh, Kakak… .” Lesung Pipi pun sedih.
“Ternyata benar kecemasanku, Kakak bukanlah ksatria ku… kau hanyalah laki-laki yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukku!.”

Lesung Pipi pun menangis. “Kau hanyalah laki-laki yang hanya ingin memiliki dan melumati tubuhku saja… .”
“Memang benar, apa kata kakak-kakakku, laki-laki memang tak layak dipercaya!.” Lesung Pipi pun semakin menjadi-jadi tangisnya. “Huh!, ksatria yang jujur tidak pernah ada di bumi, ia cuma hidup di dongeng-dongeng saja.”

Jaka Tarub, ksatria pemanah burung rajawali tak gentar dihadang musuh. Diterjangnya badai dan topan, ditantangnya kilat dan gemuruh demi sebuah harga diri. Harga diri seorang laki-laki. Laki-laki sejati, laki-laki ksatria.

Tak tahan dibilang bukan ksatria dan bukan laki-laki yang jujur oleh  si Lesung Pipi, Jaka Tarub pun menyelinap masuk kedalam pondokan. Dibongkarnya ruang bawah tanah. Mengambil sesuatu lalu Jaka Tarub pun bergegas keluar.

“Ini kain dan selendangmu!, ambillah!.” Perintah Jaka Tarub pada si Lesung Pipi.

Si Lesung Pipi menghentikan isak tangisnya. Matanya berkaca-kaca memandang kain dan selendang yang diberikan Jaka Tarub.

“Aku sudah berbuat jujur!, aku tak bukanlah laki-laki yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi burukmu, aku hanya ingin … menjadi ksatria mu, Dik!.”

“Terimalah aku sebagai ksatria mu … terimalah aku dalam cinta dan kasihmu, Dik.” Jaka Tarub merajuk.

Si lesung Pipi hanya diam, dengan sigap ia ambil kain dan selendangnya. Menyelinap sesaat kedalam pondokan, bertukar pakaian lalu ia bergegas keluar.

Si Lesung Pipi tersenyum pada jaka Tarub. Senyum yang paling manis yang pernah Jaka Tarub rasakan.

“Terima kasih, terima kasih atas kejujuran, Kakak … ternyata kakak adalah seorang ksatria, laki-laki sejati yang pantas mendapatkan cinta dan kasihku.”

Jaka Tarub berbunga-bunga bahagianya. Tak sia-sia kejujurannya, kejujuran yang dibayar dengan pernyataan dan pujian yang tulus.

“Tapi, Kak… tak bisa selama nya aku tinggal bersama Kakak.”
“Aku harus pergi, Kak … pergi sekarang juga ke surga karena aku tak mau disakiti oleh laki-laki.”

Bagai guntur di siang hari mendengar keinginan si Lesung Pipi. Jaka Tarub berusaha meredakan keterkejutannya.

“Dik, jangan lah pergi … aku sangat mencintaimu, dan tak akan menduakanmu apalagi sampai menyakitimu … .”
“Ah, janji laki-laki!, semua laki-laki selalu berjanji sehidup semati!.”
“Tapi … sudahlah!, aku tak ingin disakiti oleh laki-laki, ma’afkan aku, Kak … aku harus pergi!.”

Jaka Tarub bergegas masuk kedalam pondokannya, di ambilnya busur dan anak panah yang tergantung di bilik.
Ditentangnya busur dan anak panah yang siap melesat. Dihadapkannya tajam anak panah pas di jantung si Lesung Pipi.

“Kalau kau bersikeras ingin pergi, akan ku tancapkan anak panah ini tepat di jantungmu!.” Ancam Jaka Tarub pada si Lesung Pipi.
“Akan ku belah dadamu lalu ku makan jantung dan hatimu, agar dirimu tetap menyatu di diriku.”
“Cinta adalah kerelaan, Kak … dan hanya kamilah penghuni surga yang telah mengerti itu. Kalau kakak benar-benar mencintaiku, rela kan aku pergi, Kak.”
“Tidaaaaakkk!, aku tidak rela kamu pergi! (sambil tersedu sedan Jaka Tarub pun menangis), aku tak ingin kehilanganmu karena aku sangat, sangat mencintaimu!.”

“Selamat tinggal, ksatria ku … .” Si Lesung Pipi pun melambaikan tangan nya. Seketika saja tubuhnya menjadi seringan kapas. Dalam beberapa jarak tubuhnya mengambang di udara.
“Tidaaaaakkk!.” Jaka Tarub berteriak marah. Dilesatkannya anak panah ke arah jantung si Lesung Pipi.

Dari ketinggian si Lesung Pipi hanya diam walau tubuhnya dipanahi Jaka Tarub berkali-kali. Bagai memanah angin, satu demi satu anak panah nya pun jatuh kembali ke tanah. Karena tubuh bidadari berlesung pipi itu telah moksa, siap untuk pergi menuju alam surgawi.

“Cinta bisa ada dalam ketiadaan, cinta bisa tiada dalam keadaan karena cinta adalah cinta itu sendiri… selamat tinggal, ksatriaku … sampai bertemu di surga nanti.”

“Tidddaaaaakkk!.” Bagai harimau Jaka Tarub pun mengaum.

Dilihatnya sisa anak panah terakhirnya, lalu dihujamkannya ke dalam jantungnya bertubi-tubi.

“Aaaargh! Orgh!, Aaaargh!.” Jaka Tarub mengerang-erang kesakitan.
“Kakaaaaakkkk !, Oh, Tuhan… Kakkkkaaaak!” Si Lesung Pipi terpekik.

Tubuh Jaka Tarub pun ambruk, semburat darah keluar dari dadanya. Masih digenggamnya anak panah yang tertancap kuat di jantungnya. Tangannya pun merah bermandikan darah.

“ Bi… bi..ar … biar ku bawa mati saja cinta ini!, ku bawa mati semua kenangan bersamamu, agar kau tahu bahwa cinta itu cinta … seperti katamu tadi, ya cinta itu cinta … cinta ada dalam ketiadaan.”

Dengan senyum, Jaka Tarubpun menghembuskan nafas terakhirnya.

“Kakak, Ough, Kakak!.” Jerit si Lesung Pipi lirih.

Tanpa terasa air mata menetes hangat di pipinya. Si Lesung Pipi memandangi Jaka Tarub lekat-lekat.  Ya, cinta itu cinta. Pelangi telah menjemputnya, ia pun terbang dibawa angin menuju surgawi.

Di bumi ada pahit, ada juga getir, seperti yang kakak-kakakku pernah ceritakan. Mereka cuma bisa cerita dan cerita kepadaku sedari aku kecil tapi mereka tak pernah rasakan, di bumi ada air mata, air mata bahagia atau sedih?. Tipis sekali bedanya, setipis titian rambut dibelah tujuh.

Jaka Tarub Dan Bidadari Berlesung Pipi - 01042012


Ketrangan Gambar : MEMANAH HATI - Karya : Wans Sabang, 13042013