Mengenang kembali pemboman di JW Marriott dan Ritz-Carlton
di kawasan Mega Kuningan, Jakarta pada 17 Juli 2009.
Darah.
Nyawa.
Jiwa-jiwa.
Terpisah.
Beberapa
detik setelah pemboman di gedung JW Marriot.
Hai,
Lelaki bersayap itu datang.
Bersamaan
dengan jiwa-jiwa bersayap terbang menuju cangkang telur mereka.
Yang
nanti akan di tetaskan kembali…di alam lain.
Lelaki
bersayap itu menyapaku.
“Hei,
Pulan.” Sahut Lelaki bersayap ramah.
Heergg,
aku menjawab dalam sekarat.
“Mana
sayapku?.
“Jiwaku
pun ingin terbang bersama-sama mereka… .”
Mati adalah janji.
Mati adalah pasti.
“Persoalan
mati adalah persoalan mudah.”
“Semudah
aku membalikkan telapak tangan.” Kata Lelaki bersayap tenang.
“Cepat
berikan sayapku.”
“Aku
tak ingin sekarat, aku tak ingin lama di dunia fana.”
“Siapa
yang membuatmu sekarat?.”
“Siapa
yang memisahkan jiwa-jiwa mereka?.”
“Apakah
kamu pantas mengambil alih tugasku?.”
“Aku!.
Akulah sang pencabut nyawa!.” Kata Lelaki bersayap lantang.
“Aku
ingin cepat pulang dan tertidur di dalam cangkang telurku.”
“Menunggu
untuk dibangunkan… .”
Para
polisi, pasukan anti teror beserta tim penjinak bom bergegas masuk ke dalam
lobby gedung itu.
Polisi
diluar gedung mengatur lalu lintas lalu memasang police line.
Didalam
gedung, pasukan anti teror dan tim penjinak bom berjingkat berhati-hati
menghindari kemungkinan terburuk : bom waktu.
Seperti
daun-daun kering di sana-sini mayat bergelimpangan.
Satu, dua, tiga … jiwa-jiwa bersayap terbang.
Pecahan
kaca yang tajam bercampur reruntuhan tembok dan serpihan besi memenuhi ruang
lobby gedung.
Seisi
ruang seperti diaduk puting beliung. Siapa yang berani menjamin kalau didalam
lobby gedung itu masih ada orang yang selamat?.
Di
bagian lain, orang-orang yang selamat berlarian panik melewati pintu darurat.
Tangis histeris mereka adalah musik latar tragedi menyedihkan ini.
“Siapa
yang menentukan mereka masih bisa menangis atau tidak hari ini?.” Tanya Lelaki
bersayap kesal.
“Lihatlah!.
Beberapa detik sebelum bom yang kau atur itu meledak, mereka masih bisa
bertegur sapa.”
“Mereka
masih diberi kesempatan untuk mengingat nama-Nya.”
“Mereka
masih diberi kesempatan untuk menghargai dirinya sendiri.”
“Ini
adalah perjuangan.”
“Perjuangan
suci atas nama Tuhan.”
“Adalah
hal biasa, bukankah dibutuhkan pengorbanan untuk melakukan perubahan?.”
“Perubahan
yang akan membawa kita pada kedamaian.” Kataku mendebat kata-kata Lelaki
bersayap itu.
Perjuangan suci lebih mulia dari pada aku cuma jadi seonggok
tanah.
“Manusia
memang tak mempunyai sayap seperti aku.”
“Tapi
kata-katanya mempunyai banyak sayap.”
“Entahlah,
sayap siapa yang mereka pakai?.”
“Mereka
sering meminjam sayap Tuhan.”
“Tuhan
yang mereka ciptakan sendiri. Bukan Tuhanku. Bukan Tuhannya mayat-mayat yang
bergelimpangan.” Kata Lelaki bersayap tenang.
“Apakah
kamu juga menganggapku sebagai seorang teroris?.”
“Tuhanku
adalah Tuhan yang mencintai kedamaian.”
“Tuhan
yang menyuruh umatnya untuk saling mengasihi.” Kata Lelaki bersayap.
“Cepat
berikan sayap itu!. Aku sudah tidak kuat!.”
“Aku
ingin segera bertemu dengan Tuhanku. Tuhan yang telah menjanjikan surga karena
syahidku.” Pintaku segera.
Satu lagi… jiwa bersayap terbang.
Kamu
tidak akan tahu akhirnya. Begitupun aku. Hanya Dia yang Maha Suci yang tahu
apakah akan berada di surga bersama-Nya. Bisik Lelaki bersayap.
Tugasnya
telah selesai, Lelaki bersayap itu pun pergi.
Tim
Evakuasi mulai sibuk memasukkan para korban ledakan bom ke dalam ambulan.
JAKARTA, KOMPAS.com-Terdapat 62 korban ledakan bom di JW Marriott dan
Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta pada 17 Juli 2009.
Rincian
korban sebagai berikut :
Meninggal dunia : 9 Orang
Luka –luka : 53 Orang
Jumlah korban : 62 Orang
Meninggal dunia : 9 Orang
Luka –luka : 53 Orang
Jumlah korban : 62 Orang
Dari
53 korban luka tersebut, warga negara asing sejumlah 16 orang. Sedangkan WN
Indonesia yang menjadi korban sebanyak 37 Orang.
*****
Kutu Kata, Lelaki Bersayap, 23062012
ilustrasi Gambar : www.iwallscreen.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar