Padatnya
penumpang bis kota, tidak ia perdulikan. Hawa panas yang berasal dari aspal
jalanan yang mendidih ditambah dengan bau keringat penumpang yang berjejalan
plus ventilasi udara di bus itu yang tidak
memadai. Lengkap sudah
penderitaanku.
Duh,
nasib-nasib.
Beginilah nasib orang miskin naik bis umum serasa di dalam oven.
Sebagai
seorang cleaning service di sebuah gedung di jalan Sudirman. Apa yang bisa
kuharapkan dari gaji?. Kalau
tidak ada tips dari karyawan yang baik hati, hari itu hidup rasanya apes banget. Layaknya seorang ahli
keuangan, setiap hari terus menghitung uang masuk dan keluar untuk biaya hidup
sehari-hari. Syukur kalau pas-pas an. Kalau tekor?, terpaksa gali lobang tutup
lobang.
Kas bon di
kantor, beruntung kalau dikasih. Pinjam kiri kanan, sama teman atau tetangga,
dengan mengiba-iba persis pengemis, belum tentu juga dapat. Mau ke pegadaian, apa yang bisa
digadaikan?. Emas ‘gak punya apalagi surat tanah. Sekarang saja masih ‘ngontrak di rumah
petakan bersama istri dan anak laki-laki yang baru berusia 1 tahun. Kalau sudah
buntu, barang apa saja di rumah yang masih ada harganya, ku jual ke tukangloak.
Suara
pengamen itu lama-lama memekakkan telingaku juga. Sepotong lirik lagu Koes Plus
yang ia nyanyikan, terdengar jadi kacau. Cuma ; aa uu .. aa uu… aa … uu … terus
berulang-ulang, persis paduan suara burung hantu di tengah malam. Lirik lagu
yang harusnya enak di dengar, jadi serasa mencekam.
*Buat
apa susah, buat apa susah, lebih baik kita bergembira …
Buat
apa susah, buat apa susah, lebih baik kita bergembira …
Selalu
saja setiap ia ‘ngamen, lagu itu terus yang ia nyanyikan. Apa gak ada stock
lagu lain yang ia hapal?. Benar-benar gak kreatif tuh orang!.
Sudah
bisu, kok ngamen?. Baru saja aku mengeluh, susah nya jadi orang miskin di ibu
kota, eh sudah ada orang yang lebih susah dari aku. Huh, benar-benar aneh hidup di
Jakarta ini?.
Sudah
beberapa hari ini, setiap aku berangkat atau pulang kerja, melihat pengamen
bisu itu ‘mengamen. Perawakannya sedang, sepintas terlihat fisiknya sehat dan
tidak kurang sesuatu apapun, kecuali ia bisu.
Sudah lama
aku gak mampir ke warungnya Dudung. Sebuah warung rokok yang ‘nyempil di
emperan gedung. Penampilan warung
itu memang tidak boleh mencolok, kalau warung itu mau selamat dari gusuran
Satpol PP. Seperti biasa, aku
mampir untuk sekedar curhat masalah kerjaan dengan Dudung. Sambil minum teh
botol dan menghisap rokok sebatang dua batang.
“Mas, teh
botol sama ‘samsu sebatang !.” Suara dari arah lain.
Aku yang
lagi asyik ‘ngobrol tiba-tiba saja kaget. Suara yang baru saja ku dengar
ternyata berasal dari pengamen bisu itu.
Hah!, apa
aku gak salah dengar?, ternyata orang itu bisa bicara. Penampilannya berbeda
kali ini, rapi seperti orang kantoran saja. Kemeja lengan panjang warna putih
dengan celana bahan warna hitam dan sepatu kulit yang mengkilap seperti baru
disemir. Penampilan yang membuatku ‘pangling, biasanya ia cuma pakai kaos
oblong dan celan jins butut kalau ia sedang ‘ngamen.
Tak lama
kemudian pengamen itu pergi.
“Dung,
kamu kenal sama orang itu?.”
“Gak, Boss!,
baru kali ini ia mampir ke warungku.”
Dudung
memang biasa memanggilku Boss dan kepada siapapun pelanggan setianya, ia akan
memanggil Boss. Sekedar Lips service katanya. Ah,
basa-basi kamu, Dung!, Biasa aja, walaupun kita orang susah ‘gak perlu menjilat
sampai seperti itu. Walaupun sudah aku protes, tetap saja Dudung berkelakuan
seperti itu. Mental budaknya melekat kuat.
“Aneh?.”
“Apanya
yang aneh, Boss?.”
“Orang
itu, Dung!.”
“Memangnya
kenapa dengan orang itu, Boss?.”
Tanya
Dudung lagi sambil memandang ke arah si pengamen bisu itu yang telah menjauh.
“Ah,
sudahlah, Dung!, gak penting buat diceritakan!.”
“Banyak
orang aneh ya Dung, di Jakarta ini?.”
“Maksudnya,
Boss?.” Tanya Dudung polos.
Kadang aku
kesal dengan kepolosan Dudung, tipis sekali bedanya antara polos dengan tolol.
“Au Ah,
gelap!.” Sahutku kesal.
Sebenarnya
aku mau cerita tentang si pengamen bisu itu pada Dudung. Tapi kuurungkan saja
niatku itu, percuma buang-buang energi saja. Lagi pula apa menariknya?.
Menceritakan tentang si pengamen bisu itu seperti aku sedang bercermin. Cuma
yang buat aku tak habis pikir, mengapa ia mengamen bisu padahal sebenarnya ia
bisa bicara?.
Di
pinggiran kota Jakarta.
kekasihku
apa yang kau risaukan
kerjamu
hanya melamun saja
tak
berguna kau bersedih hati
tertawalah
sayang ….
Aku paling
suka menyanyikan lagu itu kalau istriku sedang melamun atau ‘ngambek. Dan
biasanya cuma dia balas dengan senyum. Seperti air dari pegunungan yang
melewati tenggorokanku, sebuah senyum yang menyegarkan.
“Mama ‘gak
melamun, Pa… cuma Mama cemas kalau Papa ‘gak betah lagi kerja di kantor yang
baru.”
“Siapa
bilang Papa ‘gak betah?.”
“Alhamdulillah,
jadi Papa betah?, enak kerja nya, Pa?.”
“Kita
syukuri saja, Ma… walaupun hasilnya ‘gak sebesar waktu Papa kerja di pabrik,
tapi lumayanlah ….”
“Iya, Pa…
yang penting ada pemasukan!, sedikit-sedikit nanti Mama nabung buat buka warung
sembako.”
“Wah, ide
yang bagus tuh, Ma!, biar bisa bantu Papa cari duit ya Ma… itu baru istri Papa
tersayang.”
“Hehehehe
(malu-malu). Oh iya, Pa… Papa makan malam nya mau sekarang atau
nanti?.”
“Sekarang
saja deh, Ma… perut Papa sudah keroncongan nih… hehehehe.”
“Sambil
Mama ‘ngulekin sambel dan manasin ikan ‘cuek nya, Papa mandi dulu ya,
bersih-bersih!.”
“He eh.”
Istriku
pun pergi ke dapur.
Dan aku
pun berjalan ke arah teras. Sambil menghisap rokok kupandangi langit. Beruntung
hari ini langit cerah, bintang-bintangpun memamerkan keindahannya. Sesekali
asap putih yang keluar dari mulutku bagaikan kabut yang menutupi cahaya
bintang.
Penyesalan
datangnya selalu terlambat. Aku yang terlalu aktif memperjuangkan nasib
teman-temanku sesama buruh malah berujung sial. Perusahaan menilaiku hanyalah
sebagai seorang perusuh.
Sebagai
Supervisor di sebuah pabrik memang sudah kewajibanku untuk membela nasib anak
buahku, dari mulai uang makan, uang lembur dan gaji yang sudah tidak layak lagi
yang mereka terima.
Awalnya,
aku sering diskusi dengan kepala HRD masalah keluhan-keluhan mereka. Kelambanan
dan ketidak seriusan perusahaan dalam menanggapi nya membuatku semakin geram
dan kesal. Pernah suatu ketika, Kepala HRD menasehatiku agar aku tidak terlalu
jauh mencampuri kebijaksanaan perusahaan.
“Sudahlah,
Bung… sabar saja, nama nya juga perusahaan ada untung dan rugi, jadi setiap
tuntutan tidak selalu bisa dituruti!.”
Lama-kelamaan,
bahasa kepala HRD semakin keras padaku.
“Hati-hati,
Bung!, ada peribahasa mengatakan ; mulutmu adalah harimaumu, kalau Bung terlalu
vokal, Bung bisa diterkam oleh harimau Bung sendiri. Ingat itu, Bung!, Saya
sudah peringatkan jauh-jauh hari!.”
Semakin
hari perjuanganku bukan hanya membela anak buah yang ada di divisiku sendiri
tapi berkembang ke divisi-divisi lain yang ada di pabrik itu. Aku semakin vokal
memperjuangkan nasib mereka. Kinerja perusahaan semakin memburuk, target
produksi sulit tercapai karena adanya aksi-aksi mogok yang sering kami lakukan
jika tuntutan kami belum dipenuhi.
Aku
dinilai orang yang paling merugikan bagi perusahaan, sehingga melalui
intrik-intrik yang keji, aku dijebak. Dengan tuduhan pencurian lap top milik
kantor yang ditemukan di tas kerjaku, pada saat pemeriksaan pulang, hingga
akhirnya aku di PHK dengan tidak hormat.
Tuduhan
pencurian itu sangat keji. Saksi-saksi yang telah dibayar oleh perusahaan
membenarkan seolah-olah aku memang seorang pencuri. Dan yang lebih menyakitkan
hatiku lagi adalah perlakuan dari mereka yang dulu pernah ku bela nasibnya,
sekarang malah mencibir kepadaku yang kini berstatus pengangguran.
Aku tidak
mau terpuruk terlalu lama. Sal dan Zai kedua anakku, sedang doyan-doyannya
susu. Tabunganku yang sedikit lama-lama habis buat kami makan. Pikiranku buntu,
untuk melamar pekerjaan lain aku masih trauma. Mengamen dari bis ke bis, hanya
itu yang tampak ada di depan mataku, yang bisa menghasilkan uang dengan cepat.
Dulu ketika aku vokal membela orang lain, malah nasibku berujung sial. Sudah
kutekadkan bahwa aku tidak akan vokal lagi agar nasibku tidak sial, akhirnya
aku pun mengamen dengan bisu. Aku tak ingin memberitahu kepada istriku, takut
dia shock atau malu. Aku bilang padanya kalau aku diterima kerja di kantoran.
“Loh, kok
Papa belum mandi sih?.”
Istriku
kaget ketika menemukanku masih asyik melamun di teras.
“Hehehehe…
(cuma nyengir saja aku menjawabnya).”
“Sambel
cobek dan ikan ‘cuek kesukaan Papa sudah tersedia di meja makan.” Sahut
istriku. “Mumpung
nasi nya masih hangat, Pa… Ayo cepat, Papa mandi, habis mandi
langsung makan!.”
Seperti
anak kecil, aku pun ‘ngeluyur pergi ke kamar mandi.
Di Sebuah
mushola di terminal transit Jati Bening.
Kemeja dan
celana bahan yang tadi ku kenakan sudah ku lipat dan ku masukkan ke dalam tas.
Sepatu kerjaku pun, aku sesak-sesakkan ke dalam tas. Dalam hitungan menit, aku
sudah berganti pakaian. Kaos oblong dengan celana jins butut sedengkul dan
sandal jepit.
Bis
jurusan Bekasi-Tanah Abang masuk ke terminal. Secepatnya aku pun lompat ke
dalam bis. Kulihat penumpang bis yang tidak terlalu ramai. Aku pun mulai
bernyanyi ;
Aa uu
Aa uu…
Aa uu
Aa uu…
Duh,
Tuhan … pengamen bisu itu lagi!. Bisik hati si cleaning service.
(WS @GJL,
190312)
* : Lirik
lagu “Buat Apa Susah” dari Koes Plus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar