Ah, letih aku mengemis seharian tanpa hasil.
Rupanya bukan aku saja yang telah fakir di desa ini, apakah mereka pun akan mengikuti jejakku?. :Hah!, bagaimana mungkin?. Menjadi seorang pengemis bukanlah hal yang terhormat!. Apakah mereka telah siap dihina dan di caci maki?. Apakah mereka mau direndahkan martabatnya seperti aku yang tak berharga ini?.
Kalau kalian tak sanggup menahan beban derita itu, tak usah lah kalian menjadi pengemis!.
Cukup aku saja!.
Pergilah kalian dari desa ini, bumi Allah luas!. Siapa tahu kalian akan mendapatkan karunia-Nya!.
Aku sudah tua!, hidupku kini sebatang kara, tak ada sanak saudara, handai tolan pun sudah tak mengakui ku lagi.
Bapak tua pengemis itu kerja nya
menggerutu terus seharian. Kadang ia menyesali nasibnya. Tapi lebih sering ia
menyesali keadaan, menyesali para penduduk desa yang telah jatuh miskin,
menyesali penderitaan yang tak pernah berakhir di negeri nya.
Dari jauh nampak warna warni
umbul-umbul berkibar ditiup angin sahara.
Dari bibirnya yang kering, Pengemis itu pun tersenyum, memuji asma Tuhan.
“Puji syukur ya Tuhan!. Lihat iringan rombongan itu!. Aku yakin dan sangat yakin Engkau pasti mendengar do’a ku. Pagi-pagi sekali telah Kau kirimkan rejeki ku, terima kasih Tuhan.”
Dari bibirnya yang kering, Pengemis itu pun tersenyum, memuji asma Tuhan.
“Puji syukur ya Tuhan!. Lihat iringan rombongan itu!. Aku yakin dan sangat yakin Engkau pasti mendengar do’a ku. Pagi-pagi sekali telah Kau kirimkan rejeki ku, terima kasih Tuhan.”
Matanya berkaca-kaca memandang
keindahan dan keanggunan pakaian dan atribut kerajaan para rombongan itu.
“Puji Tuhan, begitu terhormatnya
utusan Mu, Tuhan,” Sahut si pengemis takjub hatinya.
Orang yang paling terhormat
dalam rombongan itu pun turun dari kudanya.
Rombongan dan para pengawal berbaris rapi di hadapan si pengemis.
Rombongan dan para pengawal berbaris rapi di hadapan si pengemis.
Orang paling terhormat itu pun
mengeluarkan plakat yang terbuat dari kulit domba,kemudian dia membacanya.
“Pengumuman penting!. Segala air
yang kau minum, udara yang kau hirup, tanah yang kau pijak. Berdasarkan titah
Raja. Bahwa semua yang tersebut di atas dikenakan pajak!. Jadi siapapun yang
telah meminum air, menghirup udara dan menginjakkan kakinya di negeri ini
diwajibkan membayar pajak!. Karena air, udara dan tanah adalah milik
kerajaan!.”
“Apa?, bukankah itu semua milik
Tuhan?.”. Pekik si pengemis tapi tak didengar oleh rombongan itu.
“Cepat, kau bayar pajak itu atau
kau akan dipenjara?.” Teriak si pengawal.
“Hai!, dengan apa aku harus
membayar pajak?. Dengan gubuk reot ku ini?. Atau dengan pakaian ku yang kumal
dan compang camping ini?.”
“Berarti kau memilih untuk
dipenjara?.” Bentak si pengawal.
“Mungkin lebih baik dipenjara,
aku tak perlu mengemis lagi.. Dan aku akan mendapatkan makan setiap hari.”
“Hahahaha… Dasar pengemis
tolol!. Di penjara, kau hanya akan dipenggal kepala mu di tengah lapang untuk
menjadi peringatan bagi orang lain yang menentang titah raja!.”
“Apa?. Baik.. Baik aku tak ingin
menentang titah raja karena aku adalah warga negara yang baik… Sabarlah, aku
akan membayar pajak… .” Pengemis itu sibuk merogoh-rogoh saku celana nya.
“Nahini!, masih ku temukan
sebutir gandum yang terkecil yang terselip di saku celanaku. Ambillah ini!,
sebagai pembayaran pajak ku!.”
Pengawal lainnya bergegas
mengambil sebutir gandum dari jepitan jari si pengemis, seolah ia tak ingin
kehilangan gandum itu. Dimasukkan nya sebutir gandum itu kedalam karung bersama
dengan barang-barang lainnya.
Setelah rombongan itu berlalu
beberapa depa. Si pengemis pun tersenyum terkekeh-kekeh getir.
Ya Tuhan, ku pikir rejekiku
telah tiba. Hehehe, aku yang pengemis ini masih saja ada yang mengemis padaku…
Hmm, aku yang telah tua renta atau dunia ini yang telah pikun?.
******
Kutu Kata, Raja Dan Pengemis,
07122012
Ilustrasi Gambar : sumber gambar : history.wisc.edu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar