Seorang
anak muda berrambut gimbal dan berpakaian kumal ada diketinggian tower listrik.
Tangan kirinya memeluk erat tiang penyangga tower. Sedangkan tangan kanan nya
asyik ber dag-dag ria, sambil sesekali jemarinya ditempelkan ke bibir,tanda
kecupan. Duh, mesranya kemudian ber dag-dag lagi. Berteriak-teriak tapi suara
nya ditelan deru angin dan riuh keramaian orang-orang yang menontonnya.
“Hoooi!,
turun!, mau mati kamu ya!.” Teriak seorang bapak berkumis tebal yang gemas
berkerumun di bawah tower.
“Huh!,
dasar orang gila mau mati saja bikin heboh!.” Teriak seorang ibu gembrot sewot.
Orang-orang
yang berkerumun dibawah, melongo sambil mulutnya menganga. Hati-hati, mulutnya
bisa kemasukkan laler nanti. Dan giginya bisa kering nanti. Gara-gara “cumi” ; cucah
mingkem, hehehehe.
Para kru
TV O’on dan Metro Mini TV, sibuk meliput. Bak seorang selebriti, pemuda
berrambut gimbal dan berpakaian kumal setelah lelah ber dag-dag pada udara.
Kini ia ber dag-dag pada kamera yang menyorotnya. Dan sambil melemparkan senyum
kuda nya ke arah reporter TV yang cantik-cantik.
Seperti
biasa, petugas penyelamat selalu datang terlambat. Kalau cepat datang, cerita
jadi gak seru. Dengan dipaksa oleh tiga orang petugas. Yang satu memegang
kakinya, Yang kedua menjambak rambut gimbalnya, Yang ketiga meremas
selangkangan nya.
“Auuu!.”
“Mau
turun, gak?, kalau gak saya remukin nih?.” Ancam petugas ketiga.
Di ancam
seperti itu. Pemuda berrambut gimbal itu kapok. Sedikit demi sedikit, akhirnya
dia mau juga di tuntun untuk turun.
“Mas!, Mas
kenapa naik ke tower listrik?, mau bunuh diri ya?.” Tanya seorang reporter TV.
“Kenapa
Mas, tolong diceritakan dong Mas?.” Tanya reporter TV lainnya.
“Huuuuhhhhh!,
Narsis banget lo!, Huuuuuuu … .” Teriak penonton yang sedari tadi cemas,
akhirnya jadi kesal.
“Sorry,
sorry, no comment… no comment!.” Sahut pemuda berrambut gimbal.
*****
Di ruang
terapi, Ahli penyakit jiwa.
“Bagaimana,
Dok?.” Tanya seorang ibu sedih. ”Apa nama penyakitnya, Dok?.”
Si pemuda
berrambut gimbal itu cengengesan ke dokter dan ke sang ibu. “I miss her, Mom… I
miss her, Dok!, hehehehe… “
“Too much
love will kill you.” Kata Dokter itu kalem.
“Maksud
nya Dok?.” Tanya ibu itu bingung.
*****
Sebagai
terapis, Dokter ahli jiwa yang terkenal sampai sejagat. Akhirnya sang ibu
menyerahkan kesembuhan anaknya pada Dokter jiwa itu. Tentu saja dengan biaya
yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar. Perlu kesungguhan dan modal
yang besar untuk menyembuhkan penyakit gila.
Dengan
terapi yang teratur, dari hari ke hari mulai tampak ada perubahan pada diri si
pemuda itu. Rambutnya yang gimbal kini sudah di potong tipis, rambutnya yang
ikal hitam itu member kesan macho. Tentu saja giginya pun sudah putih
cemerlang, tidak berwarna warni. Pakaian nya sudah necis, tidak kumal
seperti dulu. Bagi yang baru mengenalnya, tidak akan menyangka kalau pemuda cool
itu dulunya adalah pasien penyakit jiwa.
*****
“Pa, jadi
gak nganter Mama ke mall?.” Rajuk si Mama pada suaminya, si Dokter jiwa.
“Krukkkkuuuk,
groook, kruuuuk kkkkuuuuk grook… .” Sang Dokter jiwa masih asyik bermain-main
dengan “Susi Susanti”, burung Perkutut kesayangannya. Burung perkutut pemenang
lomba nasional.
“Pa!.”
Teriak si Mama.
“Eh, oh
iya!.” Sang Dokter kaget, lalu membalikkan badannya kea rah istrinya. Tapi pikirannya
masih pada “Susi Susanti” nya. Secepat kilat, Dokter jiwa itu bias
mengendalikan suasana.
“Hei,
Bro!, kamu bisa bawa mobil kan?.” Tanya Dokter jiwa pada si pemuda cool
yang masih tenggelam pada lembaran-lembaran majalah wanita di teras rumahnya.
Pemuda
yang dipanggil si Bro itu kaget sebentar, lalu menganggukkan kepalanya tanda
bahwa ia bisa membawa mobil.
“Matic,
Bro mobilnya!.” Kata Dokter jiwa itu mengingatkan.
“No problem,
it’s OK, Dok!.” Sahut si Bro, pemuda cool yang macho.
*****
Witing Tresno
Jalaran Soko Kulino.
Pepatah di
masyarakat jawa, tentang cinta yang (bisa) timbul karena kedekatan
sehari-hari.
Cinta
tidak memandang gila atau waras. Karena mencintai adalah sebuah kegilaan itu
sendiri.
Begitu
halusnya jerat asmara dalam memerangkap sang korban. Lebih halus dari jerat
sang laba-laba dalam memerangkap korban lalu memangsanya puas.
Kedekatan
antara si Bro dengan keluarga Dokter jiwa itu merupakan sebuah kedekatan yang
wajar. Si Dokter jiwa yang terkenal sampai sejagat. Tidak cukup punya waktu
buat kedua bidadarinya, yaitu si Mama, istrinya dan Agnes, putri tunggalnya.
Kedekatan
yang bermula dari mobil matic si Dokter jiwa. “Susi Susanti” yang begitu
menyita bahkan sudi memperkosa waktunya si Dokter jiwa. Ah, semua itu seperti
sebuah skenario yang telah tersusun rapi dengan jalinan konflik yang penuh
kejutan. Siapa yang menyangka akan berakhir seperti ini?. Apakah Tuhan si maha
pembuat skenario hidup?. Apakah si Bro, pemuda cool yang dulunya gila
telah merancang dan merekayasa semua ini?, Rasanya terlalu pintar buat ukuran
otaknya si Bro sendiri.
Bukan
hanya sang waktu. Dan juga bukan hanya matahari, atau bulan dan bintang-bintang
yang menaungi susunan tata surya kita. Aliran darah kita adalah misteri. Desah
napas kita pun misteri. Sebuah misteri adalah kesempurnaan dari
kelemahan-kelemahan jiwa yang asyik diselimut nafsu. Nafsu manusiawi yang Tuhan
lebih tahu dari manusia itu sendiri.
*****
“Apa. Kamu
hamil?.” Tanya si Dokter jiwa marah pada Agnes, putrinya. “Siapa?, siapa lelaki
bangsat itu!.”
“Papaaaa (teriak
marah), dia sayangnya Agnes, dia bukan bangsat!.”
“Setan!,
babi!, anjing!, bangsat!, hantu blau sekali pun, aku gak perduli!.”
Teriak-teriak Dokter jiwa yang sudah tidak bisa menjadi tuan atas jiwanya
sendiri.
“Sudahlah,
Pa… jangan marah-marah begitu!, malu kan nanti dilihat tetangga.” Kata si Mama
lembut.
“Kamu
juga!.” Teriak si Dokter jiwa marah pada si Mama. “Gak becus ngurus anak!,
hobinya ke mall melulu, ngabis-ngabisin duit gak karuan, huh, dasar perempuan
sial!.”
“Papa tuh
yang kegilaan sama “Susi Susanti”.” Sahut si Mama kesal. “Apa Papa punya waktu
buat istri dan anak?, ngaca dong, Pa!.”
Si Bro,
pemuda cool itu tidak berani memandangi pertengkaran keluarga itu. Ia
diam, tekun menekuri motif keramik ruang tamu rumah dokter itu. Sebuah motif
penuh misteri, sebuah lukisan alam yang absurd.
“Hei,
Bro!, bawa matic itu, kita pergi dari neraka ini!.” Ajak si Dokter jiwa
mengagetkan si Bro.
*****
Di puncak
Pass, di sebuah ketinggian sambil memandang jurang yang curam. Mobil matic
si Dokter jiwa parkir disitu.
“Akan aku
tembak, si lelaki bangsat itu!.” Kata Dokter jiwa pada si Bro.
“Dia yang
sudah merusak rumah tanggaku!.” Kata Dokter itu lagi. Lagi-lagi, Bro cuma diam.
“Sebenarnya
aku tidak percaya, kalau istriku sudah berselingkuh dengan lelaki itu!.”
“Dari
gerak gerik dan tingkah lakunya yang seperti gadis ABG. Dan yang lebih jelas
lagi dari BB an istriku dengan lelaki bangsat itu, yang pernah ku baca, begitu
mesra dan seronok kata-katanya!.”
Berjam-jam
si Dokter jiwa itu curhat dengan si Bro, pemuda cool bekas pasiennya.
*****
Si Dokter
jiwa yang terkenal sampai sejagat kaget ketika dilihatnya di meja makan ada
sepucuk surat dari putrinya.
Selain
kepergian putrinya dengan lelaki bangsat itu, yang lebih mengagetkan si Dokter
jiwa adalah isi surat yang menyatakan bahwa terpaksa putrinya pergi karena ia
tidak rela lelaki kesayangannya di rebut oleh sang Mama.
Wajah si
Dokter merah padam, kebakaran. Bukan hanya janggutnya tapi harga dirinya serasa
di panggang di bara api menyala.
Sarapan
susu dan roti panggangnya jadi terbengkalai. Si Mama bengong melihat suaminya
bergegas terburu-buru meninggalkan meja makan.
Selang
beberapa detik. Si Dokter sudah mengacung-acungkan pistolnya.
“Siapa?,
Siapa lelaki bangsat itu?!.” Sambil si Dokter menodongkan pistol ke arah
istrinya. “Ayo, ngaku!, ngaku saja!.”
“Papaaaa,
sadar, Pa!, Papa ini kenapa?, kemasukan setan apa sih, Pa?.”
“Kamu yang
setan!.”
Ditengah
kecamuknya pertengkaran. Tiba-tiba Bi Isah tergopoh-gopoh, ngos-ngos an.
“Pak, Pak
… si Susi, si Susi!.” Teriak Bi Isah.
“Hah!,
kenapa si Susi?.”
“Celaka,
Pak!, si Susi ikut mabur.”
“Apaaa?.”
Teriak si Dokter jiwa kaget yang sangat.
Kali ini,
ia benar-benar sudah tidak bisa menguasai jiwanya. Mungkin, ia sendiri kini
tidak tahu, dimana lagi jiwanya bersemayam.
“Setaaaaannnn!.”
Teriak si Dokter jiwa. Selalu kita lebih senang dan gampang sekali menyalahkan
setan atas segala perbuatan nafsu kita sendiri.
Ditariknya
picu pistol itu beberapa kali.
“Klik!,
Klik!, Klik!.” Bunyi picu pistol yang ditarik.
“Mampus
kau!, Mampus kau!, Mampus!, Mampus, hehehehehehe… .”
Si Mama
yang ketakutan jadi bengong melihat, pistol tak berpeluru yang ditembakkan
berkali-kali oleh si Dokter jiwa. Oh, Gusti, beruntung pistol itu lupa di isi
peluru oleh suaminya. Kalau pistol itu terisi peluru, mungkin kejadiannya akan
berbeda.
*****
Di sel
rumah sakit jiwa, Cilendek, Bogor.
“Mampus
kau!, Mampus kau!, dor!, dor!, mapus!, mampus!, hehehehehehe… .” Suara dari
dalam sel rumah sakit jiwa.
“Susiiii,
Sussssiiii Susanti, jangan pergiiiii!, sial!, sial, mampus kau!, mampus kau!.”
Ketawa dan jeritan yang memilukan.
“Kenapa
dia, Prof?.” Tanya Asisten, seorang mahasiswi psikologi semester terakhir
bertanya kepada si Prof, seorang tenaga ahli di rumah sakit itu sekaligus dosen
pembimbingnya.
“Biasa!,
Too much love will kill you!.”
“Maksudnya,
Prof?.”
“Hehehehe,
gila karena cinta.” Jawab profesor itu kalem.
*****
Dokter
Jiwa Dan Pasiennya,
120512
Keterangan Gambar : Dokter - Karya : Wans Sabang, 08042013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar