Selasa, 16 April 2013

Matinya Sang Primadona



Di cermin itu aku. Dan bukan kamu.
Di kilap pisau garang ini aku. Dan bukan kamu.
Sembarang ku buang make up norak dari wajahku.
Dengan lengan ku hapus gincu genit dari bibirku.
Seakan ingin ku buang dan ku hapus catatan tentang diriku.
Kupandangi cermin itu lagi. Aku benci kamu.
Banjir ait mata melunturkan eye shadow murahan ku ke mana-mana.
Hihihi, seperti badut make up ku hancur berantakan.
Ku tikam pisau ini pada laki-laki di cermin itu.
Hingga ia terkapar.
Dan aku masih saja resah.
Ku tikam ia berjuta-juta kali.
Sejuta luka, sejuta karat.
Di cermin itu aku. Dan laki-laki itu yang terkapar mati.
Karena yang ku tikam tadi adalah diriku sendiri.

*****
Bau anyir dan amis darah tercium dari dalam sebuah kamar kost.
Terpaksa warga mendobrak pintunya.

Polisi yang datang kemudian menemukan seorang waria muda tewas.
 
Kesimpulan awal ia tewas bunuh diri dengan menyayat urat nadinya sendiri dengan sebuah pisau.
Selain darah yang berceceran di lantai,ada juga sebuah tulisan “I hate You” di cermin meja rias yang ditulis dengan darah.

Berdasarkan KTP si korban diketahui identitas korban bernama : Suwandono, kelahiran : Blora,Jawa Tengah.

Evakuasi korban berjalan cepat. Korban segera dimasukkan kedalam sebuah ambulan.

Di kerumunan warga yang menonton dar batas police line, ada seorang ibu berkata,”Oh pantas, sudah beberapa hari ini Donna tidak kelihatan.”

“Kasihan Donna, tidak ada lagi Donna yang ceria, tidak ada lagi Donna yang sering membelikan jajanan pada anak-anak kita.” Kata ibu lain yang ada disebelahnya.

Hmm, tidak ada lagi Donna sang primadona kampung. Bisik seorang anak muda yang menonton dari kejauhan yang diam-diam mengagumi kecantikan Donna.

*****


Kutu Kata, Matinya Sang Primadona, 22062012 

Keterangan Gambar : Nude - Karya : Wans Sabang




Pengadilan Untuk Nenek Si Pencuri Randu




Sebuah Sidang Pengadilan untuk seorang nenek si pencuri randu.
Duduk dibangku terdakwa seorang nenek penduduk desa Runtas, berumur kira-kira enam puluhan dengan muka yang patut dikasihani.

Nenek itu dituduh melakukan pencurian beberapa buah randu yang sudah ‘mletek atau masak milik tetangganya yang bernasib sedikit lebih baik dari pada si nenek itu.
Berkenaan dengan tuduhan pencurian itu, si nenek bisa dijerat hukuman kurungan selama 3 bulan. Dan apabila tuduhan pencurian itu dilakukan adalah sebuah modus komplotan pencurian maka hukuman buat si nenek itu bisa lebih dari 3 bulan.

Legi, seorang petani. Penampilannya yang jauh dari kesan istimewa, kaya dan terkenal. Ya karena Legi adalah petani biasa yang kebetulan saja memiliki sebuah pohon randu yang telah berumur hampir sama dengan umur kakeknya. Tapi hebatnya, pohon randu itu masih tegar berdiri sedangkan kakeknya Legi telah dikubur dalam tanah dekta pohon randu itu.
Legi mengajukan tuntutan kepada Pengadilan tingkat daerah atas kasus nenek pencuri randu itu.

Adalah Wagio yang mengajukan diri kepada Pengadilan untuk menjadi sang Pembela si nenek atas biaya negara. Wagio adalah sarjana hukum muda, aktivis terkenal yang konsisten memperjuangkan HAM. Kasus nenek ini bagi Wagio adalah penting, kasus ini bisa mendongkrak popularitasnya, bukan lagi sebagai seorang pengacara tingkat “kampung” melainkan tingkat nasional yang nantinya akan kebanjiran kasus-kasus yang lebih “menarik” lagi.

Dan sudah barang tentu, popularitas Wagio akan berdampak kepada pendapatan ekonominya. Ah, biarlah!, kali ini aku kerja bakti dulu nanti kalau sudah terkenal tinggal memetik buahnya saja. Begitu pikir Wagio.

Sungguh peran Wagio di pengadilan itu seperti pemain drama profesional. Aktingnya laksana The Hero. Seorang pahlawan yang membela nasib kaum lemah.

Masyarakat pun terkagum-kagum melihat The Hero nya berjuang mati-matian membela nasib si nenek. Masyarakat yang melihat setiap debat demi debat antara Wagio dan Jaksa penuntut, seperti melihat pertarungan David versus Goliath. Tanpa diperintah, dengan tulus masyarakat berdo’a demi kepentingan Wagio. Karena kemenangan David atau Wagio adalah kemenangan mereka juga.

Jaksa penuntut yang berwajah kaku dan kering persis pohon jati yang meranggas. Membacakan tuntutan-tuntutannya dengan kejam dan bengis. Seolah ia adalah manusia yang diciptakan Tuhan tanpa hati.

Si terdakwa, dengan kebaya dan kain batiknya yang lusuh. Beberapa bagian dari kebaya terdapat tambalan dan tisikan disana-sini. Kaki nenek itu tidak beralas apapun. Mungkin terlalu mewah untuk beralas sendal jepit usang sekalipun. Wajahnya hanya tertunduk sambil sesekali jari-jarinya memainkan ujung kebaya. Sebuah potret kemiskinan yang sempurna.

Wagio yang tidak fasih mengucapkan huruf “r” bangkit berdiri. Seluruh hadirin yang ada di ruang sidang itu memasang lebar-lebar telinganya. Sepi seketika menyeluruhi ruang sidang pengadilan. Menunggu babak akhir pertarungan David versus Goliath, Pengadilan sewenang-wenang versus rakyat jelata.

Wagio mulai mengucapkan pidato pembelaannya. Walaupun ia tidak fasih menyebut randu menjadi landu. Matanya galak, kata-katanya berapi-api. Dan beberapa kali tangannya dikepalkan dan diangkatnya tinggi-tinggi meninju langit-langit.

Sementara di ruang sidang mulai gaduh. Masyarakat seperti duduk di bara api, setiap Wagio mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Beberapa masyarakat pemberani langsung saja berteriak, “merdeka!, merdeka!”. Suasana perang 10 nopember di Surabaya dan semangat juang Bung Tomo telah berhasil dipindahkan Wagio di ruang pengadilan yang penuh sesak.

Hampir tidak pernah Wagio menyampaikan kata-kata dan kalimat yang tidak diikuti dengan tarikan napas panjang dan gemuruh para hadirin. Beberapa kali hakim memukul palu agar sidang kembali tenang.

“Tuan-tuan para hakim yang terhormat. Bapak-bapak sekalian dan saya serta para hadirin yang ada di ruang sidang ini adalah manusia bukan?. Manusia yang masih punya hati nurani?.” Wagio mengucapkan pidato pembelaannya. Ia sengaja mengacuhkan fakta-fakta persidangan karena ia tahu bagaimana harus memenangkan pertarungan ini. Ia lebih memusatkan kepada aspek kejiwaan.”Oleh karena itu mari kita laksanakan sidang ini sebagai pengadilan terhadap seorang “anak” manusia.”

“Perlu bapak-bapak hakim ketahui, sebelum “manusia” ini duduk di kursi terdakwa dihadapan para bapak-bapak yang terhormat.” Lagi-lagi Wagio sengaja menekankan kata “manusia” sebagai pengganti kata nenek.

“Manusia ini telah dengan sabar dan ikhlas menanggung penderitaan karena harus meringkuk di dalam tahanan polisi dalam masa pemeriksaan. Selama sebulan ini beberapa cucu dan anak-anaknya telah terampas dari perhatian dan kasih sayang seorang nenek. Sebulan bukanlah waktu yang singkat. Begitu lama cucu dan anak-anaknya harus bersimbah airmata sedih karena nenek yang mereka kasihi tidak bersama mereka lagi. Bayangkan harus berapa lama lagi nenek itu hidup sendiri meringkuk di penjara?. Oh, kalau saja bapak-bapak hakim yang terhormat sempat melihat cucu dan anak-anaknya. Mereka sedih karena kehilangan seorang nenek. Nenek yang sering memberi uang jajan kepada cucu-cucunya. Nenek yang sering membantu kehidupan miskin anak-anaknya.” Wagio berhenti sebentar.

“Bayangkan bapak-bapak!. Bayangkan!. Kalau nenek ini harus tiga bulan di tahan lagi atau mungkin. Apakah bapak-bapak tidak pernah mempunyai seorang nenek?.”

“Huuuuuuhhhhh!.” Gemuruh para pengunjung sidang.

Terpaksa Ketua Hakim, Laki-laki gembrot dengan pipi dan leher yang bergelambir mengetukkan palu berkali-kali. “Tenang!, Harap Tenang saudara-saudara!.”

“Apakah bapak-bapak akan tega menjebloskan seorang nenek yang lugu ini bersama-sama dengan para pencuri dan pembunuh kelas kakap yang telah meresahkan masyarakat.” Wagio berhenti sebentar.

“Betapa kejamnya bapak-bapak telah menghukum nenek ini. Dengan sebuah siksaan moral yang sudah barang tentu lebih menyakitkan dari pada siksaan fisik. Karena bapak-bapak telah memisahkan nenek ini dengan cucu dan anak-anaknya yang dikasihi.” Wagio menarik nafas panjang.
Hakim ketua sudah tiga kali bergeser duduknya. Kursinya yang empuk tidak juga membuatnya nyaman. Sebagai hakim yang berpengalaman, toh ia manusia juga. Manusia yang masih punya hati dan tentu saja punya nenek juga.

“Huh!, masih perlukah saya bicara disini?. Saya yakin kalau bapak-bapak yang terhormat masih memiliki hati nurani dan masih pantas disebut sebagai manusia. Tak perlu berpanjang lebar saya bicara.” Wagio menarik napas lagi.

“Betapa pentingnya keputusan yang akan bapak-bapak putuskan. Pikirkan sekali lagi!. Bukan dengan akal tapi dengan hati!. Tahukah arti dari sebuah keputusan yang akan bapak-bapak putuskan?. Bapak-bapak yang pantas menyandang tugas Tuhan. Tuhan sang Maha Pengasih bukan Tuhan yang kejam.”

Ketua Hakim mengusap keringatnya berkali-kali dengan sapu tangan. Apakah kita tahu kalau ia pun mengusap sisa-sisa air mata yang mengembang di matanya?.

“Laksana Tuhan, nasib seorang manusia ada di tangan bapak-bapak yang terhormat pagi ini.” Begitu Wagio mengakhiri pidato pembelaannya.
Isak tangis terdengar diantara para hadirin. Para ibu-ibu dan para gadis, ikut terisak sedih. Sapu tangan bertebaran dimana-mana.

Hakim Ketua lupa akan palunya. Dan kaca mata plusnya yang ia biarkan tergeletak begitu saja di meja. Apakah aku masih pantas disebut manusia?. Apakah aku tidak pernah menjadi seorang cucu?. Sebentar lagi, aku pun akan menjadi seorang kakek yang berharap memiliki cucu yang lucu-lucu dan menggemaskan. Sekali ini saja. Ya, sekali ini saja aku pun ingin dikenang sebagai orang baik.

Mata yang lembut dan bening itu kini mulai berani menatap ruang sidang. Pada sat itulah si terdakwa berdiri dari kursinya. Ia memandangi para bapak hakim, jaksa penuntut dan lebih lama lagi pada Legi, tetangganya. Sebentar kemudian ia balikkan badannya ke arah pengunjung sidang.

Nenek yang lugu dan jujur itu tidak bisa menahan siksaan batin lebih lama lagi. Matanya mulai mengembang, berkedip-kedip karena terlilip tetesan air mata. Lapat-lapat ia mulai berani membuka mulutnya.

“Baiklah bapak-bapak sekalian. Saya mengaku bersalah karena saya telah mencuri beberapa buah randu milik Pak Legi. Apapun hukuman yang akan bapak-bapak berikan saya akan terima dengan hati ikhlas. Terutama kepada Pak Legi, hatur nuwun saya minta maaf lahir dan batin, semoga Pak Legi sudi memaafkan saya. Gusti Allah, maafkan hambamu yang ‘kere ini, hamba terpaksa mencuri.”
Bapak Ketua Hakim tanpa malu mengambil sapu tangan dan mengusap air matanya. Ia lalu mengenakan kaca mata plusnya. Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, bapak Hakim Ketua degan tegar membacakan putusannya. Walau dengan hati menjerit karena ia masih mau disebut manusia. Tangan kanannya mengetukkan palu beberapa kali dan memutuskan bahwa terdakwa bersalah.

Duh, seandainya para koruptor mau mengaku bersalah seperti nenek ini. Mungkin tugasku akan lebih mudah. Begitu bisik hati bapak Hakim Ketua. Ia pun meninggalkan sidang dengan penuh haru.
Sekali lagi. Pengadilan ini tidak terjadi di Indonesia. Pengadilan ini hanya ada di ruang imaji sang penulis, tersimpan rapi dan terkunci rapat dalam sejuta diam.

*****

Pengadilan Untuk Nenek Si Pencuri Randu, 13062012

“Hukum dibuat untuk dilanggar”. Kutu Kata si Kutu Buku Rangkat asyik berteduh di bawah pohon randu membaca buku filsafat dasar hukum. Semakin orang tersebut mengerti hukum, semakin orang itu berpeluang merekayasa hukum demi kepentingannya sendiri. Lantas, untuk apa hukum dibuat?. Untuk siapa hukum dibuat?. Berjuta tanya yang selalu membuatku gundah.
Keterangan :
1. Randu : Buah yang berisi kapuk dipakai untuk pengisi bahan kasur.
2. ‘mletek : Buah randu yang matang biasanya ‘mletek sendiri, apabila tidak diambil, maka isi kapuknya sering habis berterbangan di tiup angin.

Keterangan Gambar : Neraca - Karya : Wans Sabang

Minggu, 07 April 2013

Dihantui Roh Kucing



“Miaaauuuw… miaaauuuuw… .” Suara kucing mengiba-iba.

Berikan kami, Tuan.. biar dagingnya buat Tuan, tulangnya buat saya…kasihani kami, Tuan, perut kami lapar, anak-anak kami juga lapar… miaaauuuuw, miaaaauuuw, miauw. 
Kucing itu menggosok-gosokkan kepala dan punggungnya pada sepatu Baly made in Italy. Kucing itu bermanja, ia berharap Tuannya mengasihaninya.

Sebuah kaki kanan yang dibalut celana berbahan american wool dan sepatu Baly nya menggeser kepala kucing yang telah membuatnya kaget.

“Sial!, apa sih?.” Dilongoknya di kolong meja. “Kurang ajar!, bikin kaget saja!.”
Miiiauuuww, Miiiaaaauuuw… kasihani kami Tuan, dangingnya buat Tuan, cukup tulangnya saja buat kami.. kasihani kami, miiiiiaaauuuuw. Mata Kucing kampung itu sedih.
“Cuma kucing saja, Pi… Kok kagetnya sampai begitu?.”
“Dasar kucing kampung!, bisanya ganggu saja!.” Teriak Papi Parlente kesal.
“Huh!, mami sih, Papi ajak makan sop buntut di Daiichi hotel, ehhh malah milihnya di kaki lima.”
“Rasanya gak kalah kan dengan hotel bintang lima?.” Tanya si Mami berpromosi. “Dulu waktu kita masih gembel, merantau dari kampung ke Jakarta, Papi pernah bilang ; rasanya mimpi deh Mi, bisa makan sop kambing di warung itu.”
“Hehehehe, ingat gak Pi?.” Tanya Mami lagi. “Kapan kita bisa makan sop kambing ya, Mi, bosan makannya kangkung lagi, kangkung lagi. Dulu kan Papi sering ngeluh begitu.”
“Hehehehe, anggap saja ini nostalgia waktu kita masih gembel dulu, Pi.”
“Itukan dulu, Mi.” Sahut Papi kesal. “Sejak Papi diangkat jadi Bendahara Partai, segalanya kan jadi berubah, Mi.”
“Sekarang mau duit tinggal petik!, persis kaya rumput, habis dipetik, ehh dia tumbuh lagi.” Kata Papi Parlente sombong.
“Buat orang kaya seperti kita ini apalah artinya buang duit sejuta dua juta sekali makan yang penting suasananya nyaman.”
“Ya, sudah lah Pi, masa sih gara-gara kucing, Papi marah-marah melulu, hati-hati nanti bisa stroke.”
Tiba-tiba saja … Miiiaaauw, miiiaaaauw. Kucing kampung mengiba-iba lagi, menggosok-gosokkan kepalanya ke kaki Papi Parlente.
“Kurang ajar!.” Ditendangnya kucing itu hingga terpental beberapa senti.
“Braak!.” Bunyi suara pistol Barreta 92 buatan Italia yang di gebrakkan di atas meja, sejenis pistol genggam yang suka dibawa oleh para pejabat atau anggota Dewan kita.
“Pelayaaaannnn!.”
Pelayan tergopoh-gopoh diteriakki “orang penting” itu.
Sambil mengacungkan pistol genggamnya. “Kamu usir kucing itu!, kalau tidak bisa usir, bukan hanya kucingnya yang saya tembak tapi kamu nya juga!.”
Dengan gemetar, Pelayan itu menjawab takut. “I.. i.. iya, Tuan!.”

Huss!, huss!, huss!. Pelayan berusaha mengusir si kucing.
Kucing tak mau beranjak malah merapat ke tembok. Miaaau, miaaauuu, miaaauuu, kami cuma minta tulangnya saja, Tuan… dagingnya biar Tuan makan sepuasnya, kasihani kami… kasihan anak-anak kami yang lapar, miiiauu miaaauuu.”

Digetoknya kucing itu dengan gagang sapu. Sekali getok, kucing itu masih diam tak beranjak. Setelah beberapa kali dan dengan getokkan yang makin keras akhirnya kucing itu bergeser.
Di depan pintu warung, kucing itu masih mengiba, mengharap belas kasih manusia. Miaaauuuu, kasihani kami, Tuaaan, kami lapaaarrr.

Diambilnya air yang ada didalam panci dengan gayung lalu disiramkan ke arah kucing. Uff!, si pelayan telah salah ambil air. Ternyata yang disiramkan adalah air panas yang baru saja matang.

Kucing kampung itu kaget. Miaaaw!. Karena kaget dan kepanasan, kucing itu terloncat lalu berlari serabutan ke tengah jalan. Mobil sedan yang melaju kencang seketika itu juga menggilasnya tanpa ampun.

Telah terjadi tabrak lari. Jangankan pada kucing, pada sesama manusia saja banyak orang yang tidak perduli. Si penabraknya tidak perduli dan orang-orang yang melihatnya ikut tidak perduli. Masa bodoh!, cari aman saja, gak mau terlibat, gak mau jadi saksi, wah repot urusannya nanti, sejuta alasan yang kita cipta karena jiwa kita yang “sakit”.

Di seberang  jalan, lima ekor anak kucing menangis melihat Ibu tercintanya meninggal tragis. Miaaauuuw, miaaauuw, Tuhan, Tuhan dimanakah Kau?.”

******

Lelaki tua berpakaian lusuh. Dengan tongkat yang menopang kaki kanannya. Walaupun telah ia topang, tetap saja ia seret-seret kakinya yang sudah tak bisa bergerak itu.

Di depan sebuah warung kaki lima. Lelaki tua itu mengemis. “Tolong kami, Tuan… kami lapar, sejak pagi kami belum makan, beri kami sedikit saja… .
Keluarga kucing seukuran manusia sedang bersantap di meja makan.

“Kasih, Ma…nanti dia bisa mati kelaparan!.” Kata salah satu anak kucing.
“Huh, dasar pemalas!.” Sahut ibu kucing. “Bisanya cuma ngemis doang!.”
Di lemparkannya sekerat tulang yang telah tandas dagingnya oleh salah satu anak kucing lainnya. “Nih, makanlah!.”

Dilihatnya tulang kaki kambing yang berasal dari sop itu. Dengan sedih, ia mengemis lagi. “Tolonglah beri kami sedikit saja nasi dan dagingnya… kasihani kami, tulang itu!, bagaimana kami bisa memakannya.”

“Hahahaha… .” Anak-anak kucing dan Ibu nya tertawa menghina. “Hahaha, sudah dikasih tulang malah mau daging, hahaha… nanti dikasih daging malah minta jantung!.”
“Huh!. Dasar manusia selalu saja serakah!.” Sahut ibu kucing bengis.

Pasien itu berontak-rontak menggerak-gerakkan tangan dan kakinya kacau.

“Dokter!, Dokter lihatlah, Dok, sudah sadar Dok, sudah bergerak,Dok!.“ Kata wanita setengah baya itu pada Dokter.
Sebentar bergeraknya setelah itu tubuh pasien itu diam terbujur kaku.

“Ah, cuma mengigau saja!.”

*****

“Ini sudah stroke yang kedua, kondisi nya sudah tak sadarkan diri.” Kata Dokter kepada wanita setengah baya. “Stroke lagi bisa mati, Bu.”

“Tapi, Dok… saya tak habis pikir, setelah stroke pertama, bagian kanan tubuhnya lumpuh, tangan dan kaki kanannya tak bisa di gerakkan, mulutnya miring dan … yang si Papi bisa ucapkan cuma ; miaaauuuw, miaaauuw. lemah suaranya nyaris tidak terdengar, seperti suara anak kucing, Dok.”

“Kenapa ya, Dok?, apa ada hubungan nya dengan kucing?.”

“Maksudnya?.” Tanya Dokter bingung. Dokter itu menggaruk-garuk kepalanya yang setengah botak. “Apa 
Pak Nazar makan daging kucing?, hiiiiii.” Tanya Dokter sambil bergidik jijik.

“Gak lah, Dok!, masa si Papi makan sop kucing sih?. Ada-ada saja Dokter ini.”

“Ya, kalau gak makan daging kucing, berarti tidak ada hubungannya stroke dengan kucing.”

“Apa karena si Papi dihantui oleh roh kucing yang jahat?.”

“Ah, ibu sekolahkan?. Tanya Dokter kesal. “Masih percaya tahayul?.”

“Selain pola makan… (sambil menunjuk ke arah kepalanya yang botak), pikiran juga gak boleh stress.” Kata Dokter menjelaskan.

Oh Tuhan, apa Papi stress karena dapat surat panggilan dari KPK?. Bisik batin wanita setengah baya itu.

*****

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri “Para Kucing” menjatuhkan hukuman pidana penjara selama empat tahun dan 10 bulan atau 58 bulan dikurangi masa tahanan sebelumnya serta denda Rp200 juta kepada Pak Nazar si Papi Parlente.

Setelah putusan dibacakan oleh hakim kucing, masyarakat kucing heboh mengeong-ngeong kesana kemari, suasana pengadilan jadi kacau. Masyarakat kucing menuntut agar Papi Parlente itu dihukum mati. Karena kasus korupsinya yang menggurita, selain jumlah hasil korupsinya besar, juga melibatkan para pejabat tinggi kucing, anggota Dewan kucing, Ketua Partai kucing dan anak presiden kucing.

Ketokan palu berkali-kali dari hakim kucing, serta ajakannya agar para hadirin di ruang persidangan itu tenang di acuhkan oleh mereka. Suasana ruang sidang jadi tidak terkendali. Ada yang melempar kursi ke meja hakim. Ada yang mengeroyok pengacaranya si Papi. Dari arah belakang, seekor kucing muda, mengacungkan pistol Barreta 92 yang siap di ledakkan.

“Dor!, Dor!, Dor!.” Tiga peluru bersarang di jantung, paru-paru dan perut si Papi yang sedang di kawal oleh polisi kucing.

Tubuh si Papi ambruk, mengerang sekarat, dalam sakratul mautnya ia hanya berucap ; mmiiaauw!.
Ya Allah!, wanita setengah baya yang tadi duduk tertidur disamping suaminya terbangun kaget karena 
bermimpi aneh.

Tiiiiiittttttt. Bunyi yang berasal dari alat detak jantung. Yang menunjukkan kalau detak jantung si pasien telah berhenti berdetak.

“Papiiiiii … .!.”

*****
Kucing muda yang telah menembak Pak Nazar, diduga kabur melarikan diri ke Singapur, Thailand, Vietnam. Di kuntit terus oleh para Interpol kucing. Karena buat KPK negeri kucing, Pak Nazar selain sebagai terdakwa, dia juga merupakan saksi penting untuk terungkapnya mega skandal korupsi. Kata Ketua KPK, Pelaku penembakan adalah saksi kunci yang perlu diselidiki, siapa dalang sebenarnya jangan sampai kasus ini buntu seperti kasus-kasus lainnya.

Akhirnya, Kucing muda pelaku penembakan itu tertangkap di Colombia, setelah berbulan-bulan kabur.



 Dihantui Roh Kucing - 03052012


Keterangan Gambar : Kucing Mati - Karya : Wans Sabang, 08042013